Wujudkan UN 2011:
Jujur, Terbuka, dan Objektif
Terkait dengan pernyataan Menteri Pendidikan Nasional RI bahwa ke depan pelaksanaan UN tidak perlu ada target kuantitatif lagi—yang dibutuhkan di dalam UN hakikatnya adalah kejujuran, anggota DPD mengunjungi FKIP Unila untuk berdiskusi dengan pihak dekanat.
Anggota DPD yang mengunjungi FKIP Unila itu, Ahmad Jazuli, mengatakan DPD bermaksud mendalami masalah UN ini agar ke depan hal tersebut menjadi poin penting dan program konkret di daerah, terutama di sekolah. “Kami, DPD Lampung, mendukung pernyataan menteri pendidikan dengan menindaklanjutinya pada UN yang akan datang (2011, red),“ ujar Jazuli.
Dalam kunjungannya ke FKIP pada Selasa (4/1), ia mengatakan DPD RI menerima banyak masukan tentang pelaksanaan UN yang bertentangan dengan nilai moral guru, murid, dan pedagogi. Oleh karena itu, pernyataan menteri pendidikan tentang pelaksanaan UN yang jujur betul-betul sedang ditunggu aksinya.
Pada kesempatan itu, ia mengatakan DPD meminta agar Menteri Pendidikan Nasional menjadikan FKIP Unila sebagai lembaga pengembangan guru di Lampung. Konsekuensinya yakni FKIP Unila harus mampu memberi jaminan program dan infrastruktur yang cukup didalamnya. Hal itu dalam rangka untuk menyambut lembaga penjamin, penyedia, dan peningkatan mutu guru yang ada di Lampung.
Jazuli juga mengatakan FKIP Unila berencana bekerja sama dengan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) agar peranannya sebagai lembaga pengembangan guru dapat diwujudkan. Karena FKIP yang melahirkan guru, harus ada akses dengan para alumnusnya, yakni dalam bentuk pengembangan guru di Lampung.
Menurut dia, juga perlu dilakukan koreksi terhadap para pejabat pemerintah di daerah agar mereka tidak lagi mengagung-agungkan pencapaian sekolah yang berhasil menembus angka kelulusan yang tinggi. Adapun pencapaian ini sering tidak hanya berdampak mendorong semangat untuk mencapai makna baik dari pencapaian itu, tetapi juga mendorong hal-hal yang kurang tepat.
“Lebih baik hasil UN dijadikan sebagai parameter pengukuran pendidikan, keberhasilan pendidikan, dan pemetaan pendidikan. Misalnya, di satu tempat kekurangan pendidikan bahasa Inggris, laboratorium, serta kurangnya kualitas guru, dapat diketahui. Jadi,bukan kelulusan (yang diutamakan dari UN, red).
Terkait dengan paradigma UN yang jujur, Dekan FKIP Unila, Dr. Bujang Rahman, M.Si., mengatakan pada dasarnya paradigma tersebut sudah sejalan dengan filosofi pendidikan. Ia menuturkan pendidikan sebenarnya membentuk kepribadian, bukan mencapai target kuantitatif. Ia mengatakan bahwa kepribadian itu bersifat kualitatif.
“Menurut saya, yang paling penting adalah bagaimana daerah, baik provinsi maupun kabupaten, mengimplementasikan kebijakan ini dalam pelaksanaan UN, terutama pada 2011 ini. Jadi, apresiasi yang diberikan seyogianya tidak lagi pada kuantitas kelulusan dan jumlah siswa yang lulus, tetapi pada proses UN yang sesuai dengan harapan masyarakat. Jujur, terbuka, dan objektif yang paling penting,” ujar dia.
Di lain hal, Jazuli juga menuturkan empat politik pendidikan nasional, yakni (1) peningkatan mutu guru profesional dan guru sejahtera, (2) penundaan pembubaran PMPTK (dirjen peningkatan mutu tentang pendidikan) karena negara melihat ukuran dirjen ini terlalu besar. Akan tetapi, komunitas guru (pendidik) melihat lembaga semacam itu perlu dibuat karena guru sangat memengaruhi domain peningkatan sumber daya manusia Indonesia.
Kemudian, (3) Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK) yang ada harus ditingkatkan dan diseleksi. Jika tidak diseleksi, bisa saja sebuah lembaga membangun seleksi LPTK. Kemudian, dikhawatirkan nanti jika tak ada acuan standar kelulusan, hal itu akan menjadi masalah karena FKIP sedang pada posisi yang bagus. Adapun dari 362 LPTK yang ada, hanya kurang dari 10%-nya yang merupakan lembaga negeri.
Lalu, (4) program sertifikasi profesi guru satu tahun menjadi guru harus betul-betul menjadi profesi, bukan otomatis selesai dari gedung FKIP, selesai pula menjadi guru. Akan tetapi, guru harus memunyai pendidikan profesi seperti dokter. (Bay/Nur)
Dalam rangka memperingati Tahun Baru Islam 1432 Hijriah, Pembantu Dekan (PD) III Tontowi Amsia dan Forum Pembinaan dan Pengkajian Islam (FPPI) FKIP Unila menggelar seminar keagamaan pada Kamis (9/12/2010) di Aula K FKIP Unila. Acara yang bertema Kehidupan beragama kampus FKIP Unila itu dihadiri dosen Program Studi (PS) Pendidikan (Pend.) Fisika sekaligus Pemimpin Umum Unit Database FKIP Abdurrahman, dosen PS Pend. Bahasa Inggris Ujang Suparman, dan dosen Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia Muhammad Fuad sebagai pembicara.
Tontowi mengungkapkan mahasiswa sebagai calon guru harus beretika dan santun dalam berbicara. Apalagi, jika bertemu dengan sesama, dianjurkan mahasiswa mengucapkan salam. Menurut dia, hal tersebut perlu dibudayakan di FKIP Unila. Jika tidak dibudayakan, lambat laun akan hilang kebiasaan tersebut. “Jika bertemu sesama muslim, ucapkan salam, bukan 'hayo-hayo',” candanya.
Ia berharap mahasiswa dapat mengimplementasikan apa yang didapat dari kegiatan tersebut, seperti mengajak teman, terutama sesama program studi, untuk mengerjakan kebaikan mulai dari yang kecil terlebih dahulu.
Tontowi juga mengatakan, di samping memiliki wawasan intelektual, mahasiswa sebagai calon guru juga harus memiliki spiritual yang baik. Ia mengatakan jika spiritual seorang guru bagus, kualitasnya sebagai seorang guru juga akan ikut bagus. Namun, jika intelektualnya bagus tetapi agamanya tidak bagus, kehidupannya sebagai guru akan terasa hambar. “Jadi, harus seimbang: intelektualnya bagus, agamanya juga bagus. Apalagi jika (ilmu agamanya) dikaitkan dengan mata pelajaran. Alangkah indahnya menjadi seorang guru itu,” kata Tontowi.
Tontowi mengatakan mendukung kegiatan-kegiatan FPPI yang identik dengan keagamaan. Akan tetapi, dia menyayangkan FPPI yang selama ini menggelar acara-acara religius hanya untuk intern, tidak melibatkan mahasiswa secara umum, dalam hal ini fakultas. Ia berharap ke depan FPPI dapat melaksanakan kegiatan yang bersifat luas. Kegiatan tersebut sekaligus mencontohkan bahwa untuk melaksanakan kegiatan yang bersifat keagamaan, tidak harus menganggarkan biaya yang besar. (Bay/Nur)
0 komentar:
Posting Komentar