Oleh: Dr Abdurrahman, M.Si
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang menganugerahkan serentetan waktu-waktu khusus dalam satu tahun untuk memperbaharui kondisi ruhiyah dan keimanan kita. Dimulai dengan ibadah Ramadhan sebulan penuh yang kehadirannya selalu dinantikan oleh orang-orang yang beriman, sampai akhir bulan penutup bulan di tahun hijriah, yaitu Dzulhijjah dimana kita dihadapkan pada amalan khusus yaitu berkurban dan menunaikan ibadah haji. Nampaknya disini kita dapat mengambil intisari hikmah mengapa Allah SWT menggelar waktu-waktu istimewa ini. Allah maha tahu bahwa kita akan dihadapkan dengan segala aktivitas kehidupan yang setiap hari semakin berat selama setahun yang akan datang, oleh karena itu 4 bulan sebelum bulan muharrom Allah mempersiapkan kekuatan ruhiyah orang-orang yang beriman melalui berbagai amalan dan ritual khusus tersebut. Sebagaimana fisik yang membutuhkan tidur untuk istirahat setelah beraktivitas seharian penuh, maka ruhiyah kitapun membutuhkan penyegaran kembali untuk memperbaharui keimanan kita.
Bulan Dzulhijjah yang syarat makna dan nilai-nilai ruhiyah baru saja hadir menyapa kita, menyentuh hati nurani dan jiwa setiap orang beriman untuk memiliki spirit berkurban. Sejarah telah membuktikan bahwa seeorang atau komunitas atau suatu bangsa menjadi besar karena jiwa-jiwa mereka besar dan tidak ada jiwa yang besar tanpa disertai jiwa yang memiliki semangat berkurban. Sejarah telah membuktikan bahwa setiap pergantian peradaban akan munculkan seseorang, komunitas, atau bangsa yang dipenuhi oleh semangat pengurbanan. Mereka menjadi ummat yang besar, bergengsi, dan disegani dunia sebagai pembawa peradaban dalam sejarah kehidupan manusia sebagai buah dari semangat berkurban baik dengan diri maupun hartanya.
Pertemuan dengan bulan Dzulhijjah secara spontan menstimulus memori orang-orang yang beriman pada kenangan sekitar 4000-an tahun yang lalu dimana tiga manusia agung Ibrahim, Siti hajar, dan Ismail berjalan kaki sejauh lebih dari 2000 km dari Syam (sekitar Palestina) menuju daerah tandus tak bertuan yang sekarang menjadi pusat peradaban dunia, Makkah Almukaromah. Perjalanan sejauh jarak pulang pergi dari kota Bandar Lampung-Padang melalui jalur lintas timur, bukanlah perjalanan wisata yang menyenangkan, namun sebuah perjalanan panjang dan melelahkan yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki semangat pengurbanan dalam melaksanakan perintah sang Khalik.
Kisah syarat ibroh (pelajaran) dari Ibrahim as belum berhenti sampai disini. Peristiwa mengharukan sekaligus tentang perintah penyembelihan Ismail as, memberikan kesan yang mendalam bagi kita. Betapa tidak, Nabi Ibrahim 'alaihissalam yang telah menunggu kehadiran buah hati selama bertahun-tahun ternyata diuji Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk menyembelih putranya sendiri. Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala atau mempertahankan buah hati dengan konsekuensi tidak mengindahkan perintahNya. Sebuah pilihan yang cukup dilematis dan membutuhkan pengurbanan yang luar biasa. Namun karena didasari ketakwaan yang kuat, perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala pun dilaksanakan. Dan pada akhirnya, Nabi Ismail 'alaihissalam tidak jadi disembelih dengan digantikan seekor domba. Inilah perintah simbolik ibadah kurban di bulan dzulhijjah.
Melalui semangat pengurbanan itulah kisah tersebut berlanjut. Kita bisa menelusuri secara ilmiah, bagaimana Nabi Ibrahim as selanjutnya telah berhasil membangun peradaban manusia yang luar biasa, yaitu perdaban Islam yang dibangun oleh Rasulullah Muhammad SAW, yang merupakan keturunan utama nabi Ibrahim as. Keindahan dan kesempurnaan perdaban manusia yang dibawa Islam sampai saat masih kita rasakan baik dalam tataran ideologis maupun praktis. Kisah tersebut merupakan potret puncak kepatuhan seorang hamba kepada sang khalik, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Nabi Ibrahim 'alaihissalam mencintai Allah melebihi segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Kecintaan Nabi Ibrahim 'alaihissalam terhadap putra kesayangannya tidak menghalangi ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Implementasi puncak semangat pengurbanan orang-orang yang beriman pada bulan Dzulhijjah adalah melaksanakan Ibadah haji, yaitu bagian dari ibadah yang paling fundamental dalam agama Islam. Ketika Nabi SAW menyebutkan 'struktur' bangunan Islam, maka ibadah haji beliau letakkan sebagai bagian yang tak terpisahkan. Dalam Al-Quran Allah berfirman, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. 3:97).
Secara historis memang ibadah ini berasal dari kisah Nabiullah Ibrahim as. Namun kemudian ia menjadi simbol ibadah universal dimana seluruh umat manusia terpanggil untuk melakukannya. Dalam seluruh ajaran Islam, terlebih lagi pada ibadah haji, kecintaan kita pada keta'atan menduduki posisi yang sangat mendasar. Kecintaan menumbuhkan kerinduan, kecintaan menghasilkan kekuatan dan kecintaan memerlukan pengorbanan. Karena kerinduan, kekuatan dan pengorbanan, harus ada dalam diri orang-orang yang hendak melaksanakan ibadah haji. Ketiga hal tersebut yang berpangkal dari kecintaan merupakan pondasi untuk mengikuti jejak-jejak Nabi Ibrahim.
Pada ritual haji pula, manusia diajarkan untuk senantiasa berusaha menanggalkan segala atribut dan status sosial yang selama ini dibanggakan dan menjadi sekat-sekat bahkan jurang terjal bagi hubungan diantara manusia. Dengan pakaian yang bentuk dan warnanya sama, pakaian ihram, orang melakukan serangkaian ritual yang disyariatkan dalam ibadah haji untuk memenuhi panggilan Allah dengan penuh kerendahan diri. Disinilah orang-orang beriman merasakan puncak kenikmatan sebagai hamba. Disinilah orang-orang yang beriman menumpahkan segala kerinduan yang memuncah akan hakikat sebuah kecintaan dan bukti pengurbanan yang hanya ditujukkan bagi Allah SWT. Disinilah puncak kenikmatan iman yang dirasakan oleh orang-orang yang menyerahkan diri dan jiwanya secara totalitas kepada Allah SWT. Maka tak jarang orang-orang yang pernah melaksanakan ibadah haji, selalu ingin kembali ke baitullah. Kerinduan melaksanakan serangkaian ibadah di tanah suci adalah kerinduan yang tak berujung, senantiasa menyeruak dalam kalbu setiap mereka yang beriman, apalagi kita yang belum melaksanakan ibadah haji.
Implementasi puncak semangat pengurbanan orang-orang yang beriman pada bulan Dzulhijjah adalah melaksanakan Ibadah haji, yaitu bagian dari ibadah yang paling fundamental dalam agama Islam. Ketika Nabi SAW menyebutkan 'struktur' bangunan Islam, maka ibadah haji beliau letakkan sebagai bagian yang tak terpisahkan. Dalam Al-Quran Allah berfirman, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. 3:97).
Secara historis memang ibadah ini berasal dari kisah Nabiullah Ibrahim as. Namun kemudian ia menjadi simbol ibadah universal dimana seluruh umat manusia terpanggil untuk melakukannya. Dalam seluruh ajaran Islam, terlebih lagi pada ibadah haji, kecintaan kita pada keta'atan menduduki posisi yang sangat mendasar. Kecintaan menumbuhkan kerinduan, kecintaan menghasilkan kekuatan dan kecintaan memerlukan pengorbanan. Karena kerinduan, kekuatan dan pengorbanan, harus ada dalam diri orang-orang yang hendak melaksanakan ibadah haji. Ketiga hal tersebut yang berpangkal dari kecintaan merupakan pondasi untuk mengikuti jejak-jejak Nabi Ibrahim.
Pada ritual haji pula, manusia diajarkan untuk senantiasa berusaha menanggalkan segala atribut dan status sosial yang selama ini dibanggakan dan menjadi sekat-sekat bahkan jurang terjal bagi hubungan diantara manusia. Dengan pakaian yang bentuk dan warnanya sama, pakaian ihram, orang melakukan serangkaian ritual yang disyariatkan dalam ibadah haji untuk memenuhi panggilan Allah dengan penuh kerendahan diri. Disinilah orang-orang beriman merasakan puncak kenikmatan sebagai hamba. Disinilah orang-orang yang beriman menumpahkan segala kerinduan yang memuncah akan hakikat sebuah kecintaan dan bukti pengurbanan yang hanya ditujukkan bagi Allah SWT. Disinilah puncak kenikmatan iman yang dirasakan oleh orang-orang yang menyerahkan diri dan jiwanya secara totalitas kepada Allah SWT. Maka tak jarang orang-orang yang pernah melaksanakan ibadah haji, selalu ingin kembali ke baitullah. Kerinduan melaksanakan serangkaian ibadah di tanah suci adalah kerinduan yang tak berujung, senantiasa menyeruak dalam kalbu setiap mereka yang beriman, apalagi kita yang belum melaksanakan ibadah haji.
Teringat seorang sahabat menga-update statusnya di jejaring sosial, “air mata ini spontan menetes tatkala menyaksikan tetangga, sahabat, dan orang-orang tercinta di sekitarnya beramai-ramai mengantarkan saudaranya yang akan melaksanakan ibadah haji, penuh warna dan makna, mudah-mudahan ini adalah salah satu air mata kerinduan diantara berjuta sumber air mata kerinduan, kerinduan menjadi tamu Allah SWT”. Kerinduan itupun semakin hari semakin mengharu biru, semakin menusuk kalbu, membumbung menjadi do'a-do'a panjang di penghujung malam, “ Yaa rabbi jadikanlah kami tamu-Mu yang memburu jamuan-Mu di Baitullah dan kami mohon atas saudara-saudara kami yang berhaji di tahun ini, mempunyai penghayatan seperti yang pernah dilakukan Nabi Ibrahim Alaihissalam, sehingga mereka mencapai haji yang mabrur, amin”. (Wallahu'alam bishshowab).
0 komentar:
Posting Komentar