Oleh :
Prof. Dr. Cucu Sutasyah, M.A.
Kegiatan pendidikan pada hakikatnya adalah peningkatan sumber daya manusia (SDM). Dalam upaya meningkatkan kualitas SDM, peranan Tenaga pendidik (guru atau dosen) dalam proses pendidikan memegang peranan penting. Merekalah kelompok yang dapat dikatakan sebagai ujung tombak untuk membentuk manusia-manusia cerdas, sehingga mampu beertahan (survive) dan dapat menjadi agen pembangunan pada masa globalisasi.
Sebagai manusia yang berkualitas, mereka diharapkan mampu menghadapi tantangan dan persaingan pada masa mendatang. Oleh karena itu, keberhasilan guru/pendidik bisa dianggap sebagai tolok ukur keberhasilan peningkatan SDM. Berhasil atau tidaknya pencetakan SDM atau keberhasilan anak didik dalam menyerap ilmu pengetahuan tergantung pada profesionalisme dan dedikasi guru dalam tugasnya.
Dalam situasi apa pun, profesi guru dalam masyarakat tetap mendapat penghargaan dan dinilai sebagai profesi yang membantu mencerdaskan bangsa, sebagai pemberi inspirasi, pendorong semangat dan pelatih dalam penguasaan kecakapan tertentu bagi generasi muda. Dapat dipastikan bahwa guru/pendidik yang semakin bermutu akan semakin besar sumbangannya terhadap perkembangan tingkat intelektual siswa dan perkembangan masyarakatnya. Sebagai pendidik, guru harus mempunyai sifat yang baik dan terpuji.
Samana (1994) memberikan kriteria tentang sifat dan perilaku yang harus melekat pada seorang guru yang bermutu, antara lain: 1. mampu berperan sebagai pemimpin di antara kelompok siswa dan juga di antara sesamanya, 2. mampu berperan sebagai pendukung serta penyebar nilai-nilai luhur yang diyakini, sekaligus sebagai teladan bagi para siswa serta lingkungan sosialnya, 3. giat mencari kemajuan dalam peningkatan kecakapan diri dan meningkatkan pengetahuan dalam berkarya serta dalam pengabdian sosialnya, 4. dalam hal teknis didaktis, mampu berperan sebagai fasilitator pengajaran (sebagai nara sumber yang siap memberi konsultasi terarah bagi siswanya), 5. mampu mengorganisasi pengajaran secara efektif dan efisien, 6. mampu membangun motivasi belajar siswanya, berperan dalam layanan bimbingan, dan sebagai penilai belajar siswa.
Lebih dari itu, guru melalui Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dipersiapkan agar mampu memiliki sifat dan beberapa kemampuan. Antara lain, dapat melaksanakan tugas sebagai warga negara yang memiliki latar belakang pendidikan universitas; mampu menguasai, mengembangkan pengetahuan kependidikan, dan melaksanakan tugas sebagai tenaga pendidik. Menurut Undang-undang Guru dan dosen, guru/tenaga pendidik harus memiliki beberpa kompetensi, yaitu, kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial.
Ternyata profesi guru tidak ringan seperti yang dibayangkan orang awam. Tugas dan tanggung jawab seorang guru sebagai tenaga profesional sangat berat dan mengikat. Lebih dari itu, seorang guru juga dituntut memiliki keterampilan dan kemampuan praktis sehubungan dengan tugas-tugas profesinya. Guru misalnya, harus menguasai teori dan praktek ilmu mendidik dan metode mengajar; mampu membuat keputusan dan perencanaan dalam pendidikan, merencanakan program belajar mengajar dan melaksanakannya serta sekaligus melakukan evaluasi program; mampu melakukan dan mengidentifikasi data tentang permasalahan belajar-mengajar untuk dianalisis dan disimpulkan, serta mampu memberikan rekomendasi untuk pengembangan teori dan praktek. Selain itu, guru juga harus tahu hal-hal seperti struktur kurikulum, pengembangan, penjabarannya. Demikianlah hal-hal yang menyangkut profesi guru.
Jabatan Profesional
Apa arti profesional? Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu dan norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (uu no.14/2005 ps 1). Selain itu ciri-ciri sesorang dikatakan memiliki profesionalitas, ialah
1. Memiliki keahlian khusus, artinya orang yang profesional adalah ahli dibidangnya. Seorang guru bahasa dia harus menguasai seluk beluk bahasa (linguistik).
2. Merupakan suatu panggilan hidup, seorang profesional harus memiliki jiwa pengabdian untuk sesama.
3. Memiliki teori yang baku; hal ini berkaitan dengan poin pertama, dia harus menguasai teori di bidang spesialisasinya.
4. Mengabdikan diri untuk masyarakat, keahliannya harus diamalkan dalam bentuk pengabdian.
5. Kecakapan diagnostik dan kompetensi yang aplikatif. Seorang guru harus mampu melihat permasalahan dan mampu mencari
jalan keluarnya.
6. Memiliki otonomi, seorang profesional tidak terlalu tergantung pada orang, dia harus mampu menentukan dan memberikan keputusan.
7. Mempunyai kode etik, dia harus memiliki aturan sesuai dengan norma dalam bertindak dan bergaul
8. Mempunyai klien, maka kalau dia pendidik maka kliennya adalah peserta didik.
9. Memiliki komitmen terhadap mutu; dia selalu berusaha mengembangkan dan memperbaiki diri
10.Memiliki kualifikasi akademik, ini artinya bahwa orang yang profesional harus memiliki latar belakang pendidikan formal yang sesuai dengan bidangnya dan ditempuh dalam waktu yang relative lama dan ditunjukkan dengan seritifakt (Izajah). Maka seorang pendidik profesional harus memiliki latar belakang pendidikan dari lembaga LPTK/kegururan. Jadi seorang profesional bukanlah kemahiran yang kebetulan.
11. Mempunyai organisasi profesi; hal ini penting untuk sarana pengembangan profesi dan mempunyai hubungan dengan profesi lain.
Guru/pendidik yang profesional bukan hanya ditentukan oleh kemampuannya untuk melaksanakan tugasnya sebagai guru dengan kriteria dan sifat yang melekat padanya, tetapi juga ditentukan oleh kriteria yang lain. Menurut Suhertian (1994), profesional memiliki makna yang lebih luas: 1. ahli (expert), 2. tanggung jawab (responsibility), baik tanggung jawab intelektual maupun moral, dan 3. memiliki rasa kesejawatan.
Seorang guru harus juga seorang ahli, artinya dia ahli di bidang pengetahuan yang diajarkan dan ahli dalam tugasnya sebagai pendidik untuk menanamkan konsep-konsep pengetahuan yang diajarkannya. Mengajar adalah sarana pendidikan untuk menyampaikan pesan-pesan. Seorang guru tidak hanya cukup menguasai bahan ajar yang diajarkan atau hanya menguasai cara mengajar, sementara dia bukan ahli bidang studi yang diajarkan. Bahkan ada kriteria lain bahwa seorang guru harus menyampaikan pesan-pesan didik.
Selain itu seorang pendidik harus memiliki beberapa fungsi: dintaranya (1) sebagai demonstrator. Ini artinya seorang pendidik harus tampil di depan menunjukkkan dan memberikan penjelasan tentang hal yang berkaitan dengan keahliannya. Sehingga untuk hal ini dia harus menguasai bahan dan materi pembelajaran. Dengan kata lain dia harus menguasai teori pembelajaran dan menguasai berbagai teknik pembelajaran. Kemudian seorang pendidik (2) manguasai hal yang berhubungan dengan pengelolaan kelas sehingga proses pembelajaran berlangsung baik sesuai dengan rencana. Berikutnya (3) seorang pendidik harus berperan sebagai mediator dan fasilitator, yaitu mampu menjadi perantara antar berbagai pihak dalam warga sekolah. Mampu melakukan hal-hal yang berhubungan dengan tugasnya, seperti, mendorong tingkah laku sosial yg baik, mengembangkan gaya interaksi pribadi, menumbuhkan hubungan yan positif, dll. Fungsi pendidik yang lain adalah (4) sebagai evaluator, yaitu mampu mengukur keberhasilan suatu pembelajaran; mengetahui apakah tujuan sudah tercapai atau belum. Ciri Pendidik profesional yang kedua adalah memiliki tanggung jawab. Seorang pendidik selain menguasai bidang studi, cara mengajar, ia juga harus memiliki tanggung jawab dan memiliki kemandirian (otonomi). Ia harus memiliki kemandirian dalam mengemukakan apa yang harus disampaikannya berdasarkan keahliannya, walaupun ada pendidik yang belum berpengalaman yang pada awalnya masih belajar dan magang.
Pendidik yang profesional tidak terlalu tergantung pada orang lain, tetapi ia bukan otoriter, menganggap dirinya paling benar. Pada ciri ini pendidik harus bertanggung jawab, dalam arti, bahwa ia mampu memberikan pertanggung-jawabannya tentang hal yang ia lakukan. Tanggung jawab di sini memiliki makna yang luas, yakni bertanggung jawab pada diri sendiri, terhadap anak didiknya, orang tua murid, dan kepada masyarakat secara keseluruhan.
Ciri yang ketiga adalah memiliki kesetia-kawanan profesi. Menjadi seorang pendidik atau mengajar adalah suatu profesi. Tentunya pendidik yang profesional sadar akan profesinya dan mengetahui kode etik profesi. Dengan organisasi profesi ini seorang pendidik mengembangkan rasa kesejawatan. Seorang guru/pendidik harus berusaha mempertahankan dan meningkatkan citra guru di masyarakat sehingga perilakunya di masyarakat harus mencerminkan dirinya sebagai guru yang mempunyai perilaku yang dapat dicontoh atau diteladani.
Menurut Raka Joni, jabatan profesional adalah bukan sejenis kemampuan atau keterampilan yang didapat dari pembiasaan atau pengalaman dan warisan orang tua, tetapi seorang pekerja profesional dituntut menguasai visi yang mendasari keterampilannya yang menyangkut wawasan filosofis, pertimbangan rasional, dan memiliki sifat positif dalam melaksanakan serta mengembangkan mutu karyanya.
Secara terinci, jabatan guru sebagai jabatan profesional oleh Samana (1994) diuraikan sebagai berikut: 1. bagi para pelakunya secara nyata dituntut berkecakapan kerja (berkeahlian)sesuai dengan tugas-tugas dan tuntutan dari jenis jabatannya (cenderung ke spesialisasi), 2. kecakapan atau keahlian seorang pekerja profesional bukan hasil pembiasaan rutin atau latihan rutin, tetapi perlu disadari oleh wawasan keilmuan yang mantap. Jabatan profesional menuntut pendidikan pra-jabatan yang terprogram, 3. pekerja profesional dituntut berwawasan sosial yang luas, sehingga pilihan jabatan serta kerjanya didasari oleh kerangka nilai tertentu (bukan ikut-ikutan), bersikap positif terhadap jabatan dan perannya, dan bermotivasi serta berusaha untuk berkarya sebaik-baiknya. Selalu meningkatkan diri, mencintai profesi, dan memiliki etos kerja yang tinggi, 4. jabatan profesiomal perlu mendapat pengesahan dari masyarakat dan atau negara. Jabatan profesional memiliki syarat-syarat dan kode etik yang harus dipenuhi oleh pelakunya. Bagi jabatan guru, syarat yang harus dipenuhi adalah ketentuan kepegawaian (misalnya PP No. 38 tahun 1992).
Dengan demikian dapat kita katakan bahwa guru adalah jabatan profesional dengan segala atribut yang melekat pada dirinya, serta kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya. Kriteria di atas dapat dijadikan acuan apakah seorang guru dapat dikatakan profesional atau tidak. Citra guru yang sempurna, yang ideal, selamanya merupakan cita-cita masyarakat.
Beberapa Isu Kebijakan
Profesionalisasi guru ialah usaha atau kegiatan untuk meningkatkan profesi guru dengan tugas utamanya mengajar. Kita menyadari bahwa tidak semua guru yang ada dan tenaga kependidikan yang dihasilkan adalah guru yang terlatih baik (well trained) dan berkualifikasi baik (well qualified) sehingga perlu diadakan usaha peningkatan kualitas dan keterampilan guru.
Profesionalitas dapat diartikan proses menempatkan/ memperkerjakan seseorang pada tempat/ pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahliannya, pengalamannya, pendidikannya, atau disebut “the right man on the right place. Tetapi yang sering terjadi adalah “the right man on the wrong place” atau bahkan “the wrong man on the wrong place. Misalnya, orang yang bukan berlatar-belakang kependidikan mengelola bidang kepependidikan.
Profesionalitas juga dapat diartikan melindungi suatu profesi dari pihak yang bukan bidangnya. Memperjelas mana yang profesional dan mana yang bukan; mana yang berhak dan mana yang tidak berhak, dst. Jadi kita tidak boleh menyederhanakan atau memandang mudah suatu hal dengan berbagai alasan. Misalnya, semua orang bisa berbahasa Indonesia, maka dengan serta merta dia boleh mengajar Bahasa Indonesia; orang pernah ke Amerika, bisa berbahasa Inggris, lalu dia pulang mengajar bahasa Inggris, sementara dia ke luar negeri bukan belajar pendidikan bahasa; orang ke Jepang atau ke Cina, pulang mengajar bahasa Cina atau Jepang. Orang berlatar belakang ilmu pertanian menjadi nara sumber dengan topic “bahasa ilmiah” dst. Untuk hal tersebut, Prof Margono Slamet, mantan rektor Unila pernah mengatakan di gedung G FKIP tahun 1986, tindakan semacam itu bisa dianggap sebagai “pelecehan” profesi.
Kalau kita hubungkan dengan kriteria guru/pendidik yang profesional seperti yang diuraikan sebelumnya, kebijakan itu kurang efektif karena sulit untuk mencapai tingkat profesionalisme yang memadai.
Untuk menciptakan guru baru yang profesional dengan dua keahlian (misal, guru bahasa Inggris sebagai keahlian kedua) cukup sulit. Walaupun, misalnya,guru yang bersangkutan profesional dalam bidang ajar yang pertama, tetapi dia tidak dengan otomatis ahli dalam bidang ajar yang baru. Sementara usia, semangat, dan minat tidak sebaik ketika memasuki keahlian pertama. Walaupun ada anggapan, seperti yang diuraikan sebelumnya, bahwa apabila seseorang memiliki keahlian mengajar dan berpengalaman, ia diharapkan mampu mengajar dua bidang sekaligus.
hal ini bisa diterima, tetapi yang menjadi pertanyaan apakah dia dapat menjadi guru yang profesional pada bidang yang baru itu. Dapatkah dia bertanggung jawab dengan apa yang dia ajarkan ? Tanggung jawab pada dirinya sendiri, kepad anak didik, orang tua dan masyarakat. Saya kira penguasaan bidang yang baru itu tak dapat dikuasai dalam waktu yang singkat.
Sebagai contoh, dalam pencetakan guru yang mampu berbahasa bahasa Inggris, seperti dalam kasus sekolah SBI. Guru harus mengajar dengan menggunakan bahasa pengantar Bahasa Inggris. Calon guru yang sebelumnya tidak menguasai keterampilan dasar bahasa Inggris, tentu tidak bisa dengan mudah “ dicetak “ menjadi guru yang berbahasa Inggris. Penguasaan keterampilan bahasa Inggris memerlukan waktu yang cukup lama melalui latihan-latihan yang panjang untuk menguasai keterampilan dan kaidah kebahasaan, seperti kemampuan berbicara, membaca, menulis, perlafalan ( pronounciation ).
Semua latihan itu harus didorong oleh kemauan keras, motivasi tinggi, dan keuletan. Apakah yang diharapkan dari mereka yang memiliki keterbatasan waktu belajar, motivasi yang rendah, dan usia yang relatif mendekati tua? Seorang guru bahasa (terutama bahsa Inggris) adalah merupakan model atau contoh utama bagi muridnya, sementara keterampilan berbahasa mereka sangat terbatas. Kalau hal ini dipaksakan kemungkinan akan merusak bahasa anak karena anak akan diberi contoh yang tidak benar.
Lebih dari itu mereka juga harus menguasai cara menyampaikan/ mengajar bahan pelajaran yang berbeda dengan cara penyampaian bahan ajar lain. Tampaknya kita tak dapat mengharapkan sesuatu dari guru semacam itu ; guru yang kurang berkualitas dan profesional.
Untuk menjadi guru yang profesional tidak mudah, walaupun tampaknya hampir semua guru ingin menjadi yang profesional, disenangi murid-muridnya, dan dapat menghasilkan lulusan yang terampil, Namun, beberapa kendala tampaknya tidak mudah dihindari. Fenomena yang paling mendasar adalah berhubungan dengan administratif yaitu penggajian guru, dan keterbatasan tenaga pendidik. Namun hal itu tidak bisa dijadikan alasan utama kalau kita ingin disebut profesional. (Cu/Bud)
0 komentar:
Posting Komentar