Sejak ditetapkannya Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, profesi guru menjadi salah satu pilihan favorit sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun, seiring dengan meningkatnya minat terhadap profesi guru, muncul pertanyaan besar: bagaimana mutu guru tersebut? Pertanyaan ini menjadi kajian besar di berbagai level penyelenggara pendidikan di Indonesia: bagaimanakah cara meningkatkan mutu guru dan menjadikan guru agar profesional.
Berbagai macam cara dan upaya untuk meningkatkan mutu guru telah dilakukan. Salah satu bentuk komitmen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unversitas Lampung (Unila) untuk meningkatkan mutu guru yaitu melalui kegiatan Pengabdian pada Masyarakat. Kegiatan tersebut dilakukan oleh dosen-dosen FKIP Unila untuk guru-guru bidang studi Kimia di SMA se-Bandar lampung yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Kimia. Kegiatan itu dilaksanakan di SMA Negeri 9 Bandar Lampung baru-baru ini.
Selain program studi Kimia, program serupa juga diadakan di SMA Negeri 2 Bandar Lampung, yakni khusus untuk mata pelajaran rumpun IPA. Salah satu materi yang diberikan yakni manajemen laboratorium IPA dalam konteks manajemen berbasis sekolah yang disampaikan oleh Dekan FKIP Unila Dr. Bujang Rahman, M.Si. pada 9 November 2010.
Bujang Rahman mengilustrasikan, tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia tertinggal oleh negara-negara tetangga, padahal Indonesia memiliki sumber daya yang sangat melimpah. Hal itu bisa terjadi karena rakyat Indonesia belum bisa me-manage sumber daya alam secara optimal. Jadi, akar permasalahannya adalah manajemen. Demikian pula dengan manajemen berbasis sekolah. Bagaimana me-manage semua sumber daya yang ada di sekolah merupakan faktor penentu tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan secara optimal.
Ia mengungkapkan bahwa rahasia keberhasilan semua itu adalah peran strategis seorang pemimpin. Pemimpin harus berpikir besar (thinking big) dan bekerja secara realistis. Kalau pemimpin itu berpikir besar tetapi tidak realistis, ia hanya akan menjadi “pemimpi yang besar”.
Laboratorium merupakan sumber belajar yang sangat vital dalam pembelajaran IPA di sekolah. Oleh karena itu, tugas utama kepala sekolah sebagai pemimpin, khususnya untuk pembelajaran IPA, antara lain memberdayakan manajemen laboratorium secara optimal dalam konteks manajemen berbasis sekolah.
Manajemen Laboratorium Berbasis Sekolah
Manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya merupakan pemberian kewenangan desentralisasi otoritas dari pemerintah pusat kepada sekolah itu sendiri sebab yang mengetahui masalah sekolah itu adalah sekolah itu sendiri. Namun, karena tidak semua sekolah mampu menyusun perencanaan dengan baik, banyak sekolah yang belum mampu menghimpun berbagai potensi untuk mengembangkan sekolahnya, termasuk dalam mendapatkan bantuan dari pemerintah karena dianggap tidak memenuhi kriteria yang dipersyaratkan.
Melalui manajemen berbasis sekolah, sekolah dapat menghimpun berbagai potensi karena manajemen berbasis sekolah menganut filosofi pendidikan berbasis masyarakat. Dengan demikian, semua elemen masyarakat dapat berkontribusi terhadap sekolah sebagai satuan pendidikan. Salah satu implementasinya yakni diubahnya wadah partisipasi masyarakat dari BP3 menjadi komite sekolah.
Jika BP3 merupakan wadah untuk mengembangkan sekolah dengan cara memungut biaya sumbangan dari orang tua murid, komite sekolah merupakan mediasi antara sekolah dan sumber potensi yang ada, tidak hanya terbatas dari orang tua siswa saja.
Sebagai contoh kelemahan BP3, di sekolah yang mayoritas orang tua siswanya menengah ke atas, sumbangan BP3-nya akan lebih besar dibandingkan dengan sekolah yang mayoritas orang tua siswanya menengah ke bawah. Oleh karena itu, BP3 dianggap membentuk pola sekolah “yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin”. Walhasil, BP3 dihapuskan dan diganti dengan komite sekolah.
Ke depan, sekolah dapat membangun sekolahnya sesuai dengan keperluan dan kapasitas sekolah itu sendiri sehingga akan terjadi peningkatan mutu pembelajaran sebagaimana yang diharapkan masyarakat. Melalui penerapan manajemen berbasis sekolah, diharapkan sekolah
1. dapat menentukan keputusan sendiri,
2. lebih bertanggung jawab, dan
3.lebih mudah mengondisikan sekolah sehingga memudahkan guru untuk mengembangkan pembelajaran.
Intinya, dengan manajemen berbasis sekolah, diharapkan dapat tercipta kemandirian sekolah dalam mengolah sumber daya yang ada sehingga dapat mengurangi ketergantungannya pada pemerintah.
Dalam kaitannya dengan optimalisasi sumber daya, laboratorium merupakan sumber belajar yang sangat potensial dalam upaya pengembangan sekolah. Laboratorium adalah tempat melakukan percobaan dan pengujian. Sebagai tempat pengujian, laboratorium sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk melayani kebutuhan masyarakat luas, khususnya untuk melakukan pengujian terhadap berbagai keperluan, seperti air, zat kimia, serta berbagai kreasi lainnya, utamanya di bidang IPA. Jika fungsi laboratorium seperti ini dapat dioptimalkan, laboratorium dapat menjadi sumber pemasukan dana bagi sekolah. Akan tetapi, selama ini laboratorium hanya terbatas digunakan untuk melakukan percobaan bagi siswa. Untuk memfungsikan laboratorium sebagai sumber pemasukan bagi sekolah, laboratorium harus dikelola dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Tertib
2. Efektif
3. Keamanan
4. Kelengkapan
5. Fungsional
6. Pemeliharaan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada prinsipnya tentang bagaimana memanfaatkan secara optimal sumber daya yang ada di sekolah untuk menuju sekolah yang mandiri. “Jika ada sumber daya sekolah yang dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan dana, kenapa tidak? Yang penting, prinsipnya nirlaba,” ungkap Bujang Rahman yang penyandang doktor administrasi pendidikan ini.
PENDIDIKAN PROFESI GURU (PPG)
Sebuah Paradigma Baru Dunia Pendidikan
Seorang dokter harus mengikuti pendidikan profesi dokter agar mendapat pengakuan sebagai dokter. Seorang pengacara harus mengikuti pendidikan advokat agar memperoleh izin menjadi pengacara. Demikian pula dengan sarjana pendidikan, seseorang boleh memilih untuk menjadi guru atau tidak.
Jika ingin menjadi guru, seseorang harus mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) sebagai syarat untuk memperoleh sertifikat pendidik yang merupakan pemberian kewenangan dan pengakuan sebagai guru profesional. Inilah wacana awal dari Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang sedang digodok persiapannya oleh FKIP Unila.
Sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sarjana lulusan S-1 kependidikan yang ingin memperoleh kewenangan mengajar harus memiliki sertifikat pendidik. Sertifikat itu diperoleh melalui program PPG. Selain S-1 kependidikan, PPG juga bisa diikuti oleh sarjana non-kependidikan lainnya yang ingin menjadi guru, misalnya sarjana lulusan ekonomi atau rumpun IPA.
Namun, tentu saja ada perbedaan dengan mereka yang berasal dari sarjana pendidikan, seperti harus mengikuti matrikulasi atau penyetaraan terlebih dahulu. Apalagi, sarjana ilmu murni hanya dapat mengisi posisi guru SMP, SMK, dan SMA. Sementara itu, sedangkan posisi guru Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) hanya dapat diisi oleh sarjana pendidikan guru TK dan pendidikan guru SD.
Untuk program studi yang akan menyelenggarakan PPG, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi, antara lain: dari sisi SDM memiliki 2 doktor dan 2 master, program studi tersebut memiliki sarana yang memadai, memiliki sekolah-sekolah mitra yang kredibel, taat asas kepatutan, tidak memiliki kelas jauh dan akreditasi minimal B. Jangka waktu pendidikan pun beragam, 1 semester untuk sarjana pendidikan TK dan SD dengan jumlah sks 18 untuk program studi PGSD dan 36 hingga 40 sks setara 2 semester untuk SMP dan SMA. Walau berbeda, semuanya tergantung pada kebijakan yang ada.
Untuk bisa mengikuti PPG, calon guru harus mengikuti serangkaian tes yang ketat. Hal ini tidak lain dalam rangka penjaminan mutu. Karenanya, kuota peserta PPG juga terbatas sekitar 25 orang per program studi. Diharapkan dari kuota ini benar-benar dapat menjaring calon guru yang mempunyai jiwa pendidik yang sejati. Selain itu, penentuan kuota guru haruslah dihitung secara cermat, baik jumlah maupun penyebarannya. Tujuannya agar tidak ada lagi sekolah yang kekurangan guru yang pada akhirnya mengangkat guru di bawah standar.
Dipandang dari segi peningkatan profesionalisme, PPG amat bagus untuk diterapkan. Namun, dari sisi kompetensi lapangan pekerjaan dengan minimumnya kuota yang ada, program ini justru mencemaskan bagi para calon guru. Mengapa? Karena kekhawatiran akan adanya persaingan antara lulusan program studi kependidikan dan nonkependidikan, antar fakultas bahkan antar universitas. Tidak menutup kemungkinan lulusan dari daerah tertentu yang tidak lolos di daerahnya bisa lulus di daerah lain.
Dosen Harus Siapkan Panduan-Panduan PPG
Dr. Mulyanto Widodo, M.Pd. atau yang akrab disapa Pak Mul selaku Pembantu Dekan I sekaligus ketua pelaksana lokakarya persiapan pelaksanaan PPG di Hotel Nusantara Bandar Lampung menyatakan kegiatan ini dilakukan selama enam hari yang terdiri atas tiga kegiatan, yaitu penyusunan buku ajar dan Subject Specific Pedagogy (SSP), dosen dan guru pamong, serta instrumen tes untuk uji seleksi rekrutmen dan uji kompetensi.
Kegiatan ini merupakan kegiatan lanjutan dari persiapan pelaksanaan PPG yang telah dilakukan beberapa waktu lalu di Jakarta oleh tim PPG nasional. PPG tersebut direncanakan pemerintah akan dimulai pada 2011.
Dr. Bujang Rahman, M.Si, selaku Dekan FKIP saat ditemu usai memberi sambutan dan membuka lokakarya tahap I di Hotel Nusantara menjelaskan bahwa dalam perencanaan program PPG tersebut, para dosen harus menyiapkan beberapa komponen, misalnya menyusun perangkat-perangkat seperti panduan umum, panduan seleksi rekrutmen, panduan bahan ajar, panduan penyelenggaraan work shop, panduan PPL, dan panduan assesme. Hal tersebut harus disiapkan sebelum dilaksanakannya PPG yang rencananya dimulai awal 2011.
Kegiatan ini diikuti oleh sepuluh program studi yang sebelumnya pernah mengajukan proposal sebagai penyelenggara PPG. Jadi, perguruan tinggi penyelenggara PPG akan ditetapkan oleh pemerintah dan kini sedang menunggu keputusan Menteri Pendidikan Nasional tentang program studi mana saja yang akan menjadi penyelenggara PPG.
Kegiatan selama enam hari tersebut, dua hari dilaksanakan di Hotel Nusantara. Tempat ini dipilih agar para peserta lebih berkonsentrasi, tidak terganggu oleh kegiatan-kegiatan rutin di kampus, di samping untuk menyegarkan suasana. Kemudian, kegiatan yang empat hari dilaksanakan di FKIP Unila untuk me-review panduan-panduan yang drafnya sudah dirumuskan di Hotel Nusantara.
Hasil workshop ini diharapkan tersusunnya panduan-panduan yang akan menjadi acuan dalam penyelenggaraan PPG, sebab panduan tersebutlah yang akan membuat PPG ini bisa dilaksanakan secara objektif, transparan, dan jujur. Jika dalam pelaksanaannya ada peserta yang mengklaim, mereka dapat melihat kembali panduan. Di sisi lain, meskipun FKIP Unila mendapat tugas yang sangat banyak, para dosen yang mengikuti kegiatan ini harus juga tidak melepas tanggung jawab masing-masing, yaitu melaksanakan tugas pokok melayani mahasiswa, seperti mengompromikan dengan mahasiswa tentang kontrak perkuliahan yang tertunda; bisa dengan mengganti perkuliahan pada jam atau hari lain.
“Saya yakin mahasiswa cukup memahami kegiatan ini”, ujar Pak Bujang (panggilan akrab Dr. H. BujangRahman, M.Si.). “Yang jelas mahasiswa tidak dihilangkan hak-haknya dalam perkuliahan dan para dosen harus tetap berkomunikasi dengan mahasiswa”, tegasnya. Hal ini menggambarkan tingginya komitmen FKIP Unila dalam memberikan pelayanan yang baik kepada mahasiswa. Tentu saja, komitmen ini bukan sekadar isapan jempol, melainkan secara nyata dirasakan oleh mahasiswa. (Red)
0 komentar:
Posting Komentar