Majalah Eduspot

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Majalah Eduspot Majalah Pendidikan

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 14 April 2011

KREDIBILITAS UJIAN NASIONAL


KREDIBILITAS UJIAN NASIONAL
Oleh
Bujang Rahman
Dekan FKIP Universitas Lampung

Seorang anak berkata kepada ibunya: “Ibu, hati-hati kalau beli jeruk, karena sekarang banyak jeruk yang kulitnya berwarna kuning dan bersih, tapi ketika dikupas ternyata isinya kering, hampir tidak ada airnya, kalaupun ada sedikit sekali dan tidak manis, rasanya hambar.” Ibunya (sebut saja Ibu Ani) tertegun sejenak sembari berfikir, ..ternyata jeruk yang sering ia beli dengan harga yang mahal, namun rasanya tidak sesuai dengan harga dan rupanya.
Semua orang di negeri yang tercinta ini, mulai dari pejabat sampai pada rakyat, dari orang kaya sampai pada orang miskin, dari tokoh masyarakat sampai orang biasa, pasti tidak menginginkan hasil ujian nasioal (UN) seperti jeruk yang sering dibeli oleh “Ibu Ani”. Biaya mahal yang sudah dikeluarkan untuk proses pendidikan dan juga penyelenggaraan ujian nasional, namun hasilnya penuh dengan kepalsuan. Jangan sampai nilai UN yang diperoleh oleh anak tidak menggambarkan penguasaan kompetensi yang dimilikinya.
Ketika tahun-tahun awal pelaksanaan UN, ada seorang guru (sebut saja Pak Ali) pernah mengeluhkan: “Kasihan murid saya (sebut saja Aldi). Saya kenal betul dengan Aldi karena saya wali kelasnya. Aldi itu anak yang rajin dan cukup cerdas, nilai rapornya selalu di atas teman-temannya, sampai-sampai ia terpilih sebagai ketua OSIS. Tapi Aldi tidak lulus UN. Sementara, salah seorang murid saya yang lain, sering membolos, agak malas belajar, nilai raportnya selalu jelek, tapi ia lulus UN bahkan nilainya melebihi temannya yang lain.” Illustrasi ini sebenarnya merupakan fakta lapangan yang pernah menghiasi gegap gempitanya penyelenggaraan UN di negeri yang tercinta ini.
Melalui kedua ilustrasi di atas, ada dua pesan singkat yang hendak disampaikan kepada semua pihak, mulai dari pejabat pemerintah, pimpinan sekolah, guru dan para peserta UN yang menjadi gebanggan semua. Pertama, mari kita jaga kemurnian dan integritas pelaksanaan UN tahun ini, dengan cara menjauhkan diri dari semua perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kejujuran, obyektivitas, transparansi, dan filosofi pendidikan itu sendiri. Kualitas UN tidak hanya dilihat dari nilai yang diperoleh oleh siswa peserta UN, tapi yang terpenting apakah nilai UN itu benaar-benar membuktikan penguasaan kompetensi oleh anak didik. Kedua, UN adalah bentuk evaluasi sesaat yang cenderung mengabaikan evaluasi proses. Salah satu model evaluasi yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi adalah “on-going assesment” yang menekankan pada evaluasi terhadap keseluruhan proses pembelajaran yang dialami oleh siswa. Kebijakan kelulusan UN ditentukan oleh 60 % hasil UN dan 40 % Ujian Sekolah memberikan peluang kepada sekolah untuk melakukan “on-going assesment” dalam penentuan kelulusan siswa. Namun, harus dijaga, jangan sampai ujian sekolah tidak mengambarkan hasil proses pembelajaran yang sesungguhnya. Oleh karena, semua siswa, guru bahkan orang tua dengan kasat mata dapat mengetahui hal itu. Jika hal itu terjadi, tetap saja UN akan kehilangan kredibilitasnya.

Selasa, 05 April 2011

UN, Mengapa Guru yang dicurigai?

Oleh : Dr. Hi. Bujang Rahman, M.Si

Gonjang – ganjing tentang dugaan banyak pihak adanya kecurangan dalam penyelenggaraan ujian nasional telah meresahkan pihak sekolah terutama guru yang secara langsung mengawasi pelaksanaan UN di kelas. Mengapa guru yang dicurigai? Jika ada dugaan adanya ketidakjujuran, benarkah guru pelakunya, seburuk itukah mental guru sebagai pendidik, seakan sulit dipercaya.


Guru adalah sosok insan yang punya kewajiban moral menanamkan nilai – nilai kejujuran dan kebenaran pada anak didik. Karenanya sulit dipahami, bahkan sulit dipercaya jika guru melakukan ketidakjujuran kepada anak didiknya sendiri. Namun guru adalah juga manusia biasa yang tidak luput dari khilaf dan lupa. Kalaupun guru berbuat senekad itu tentu ada kekuatan pendorongnya. Kekuatan pendorong itu bisa dalam bentuk preasure dari pihak tertentu atau mungkin juga karena situasi yang memaksa. Sebagai contoh, jika memang ada guru yang melakukan ketidakjujuran dalam pengawasan UN, apakah pimpinan sekolah tidak mengetahui, jika tidak mengetahui, alangkah naifnya, jika mengetahui mengapa tidak diambil tindakan, setidaknya dihentikan. Demikian pula, jika pimpinan sekolah sengaja membiarkan ketidakjujuran itu terjadi, apakah instansi terkait seperti pengawas atau dinas pendidikan setempat tidak mengetahui hal itu. Selanjutnya, jika instansi terkait mengetahui dan sengaja membiarkan hal itu terjadi, apakah pejabat yang ada di atasnya tidak menegetahui atau sengaja membiarkan hal itu terjadi.


Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menuding pihak tertentu, baik di tingkat sekolah, instansi terkait maupun pejabat yang ada di atasnya. Namun, semata-mata ditujukan agar semua pihak melakukan fair play dalam penyelenggaraan UN. Tentu kita semua berharap hasil UN itu memiliki nilai akuntabilitas, validitas yang tinggi. Mari kita hilangkan rasa saling mencurigai dalam penyelenggaraan UN karena hal itu tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Begitu pula pihak penyelenggara UN baik guru yang bertugas sebagai pengawas, pimpinan sekolah dan dinas instansi terkait agar melaksanakan UN dengan mengedepankan nilai-nilai kejujuran, objektivitas dan akuntabel. Ketidak jujuran dalam penyelenggaraan UN hanya akan melahirkan generasi yang penuh kepalsuan dan sangat membahayakan masa depan bangsa yang sangat kita cintai ini. Jika hal itu terjadi yang menjadi korban masa depan adalah semua elemen bangsa temasuk insan yang tidak bersalah sama sekali.


Tulisan ini untuk meyakinkan kita semua bahwa masih sangat banyak pihak yang mempercayai kejujuran dan itikad baik para penyelenggara pendidikan, oleh karenanya, mari kita buktikan, kita memang patut dipercaya.

Senin, 04 April 2011

PENDIDIKAN BERBASIS CINTA


“Edukasi yang berbasis cinta. Education without love is nothing” tutur Dekan FKIP yang baru, Bapak Bujang Rahman yang dilantik 18 Agustus lalu.
Itulah harapan utama yang akan beliau wujudkan selama memimpin FKIP Unila kedepan. Dengan keyakinan menjadikan FKIP sebagai kampus beginner (pemula) untuk sesuatu yang baru, FKIP bisa menjadi LPTK terdepan di Indonesia serta dikenal dunia Internasional. Salah satu bukti awal adalah dengan mengembangkan pengajaran berbasis ICT yang telah dimulai sejak beberapa tahun silam, walaupun rencana pengembangan hal seperti ini baru saja diperbincangkan oleh para dekan se-Indonesia di Banjarmasin, November lalu.
Tentu saja hal ini tidak hanya diwujudkan dalam perkataan. “Saya tidak bisa bilang tanpa ada bukti”, imbuh pria penggemar Mario Teguh ini. Hal ini telah ditunjukkan oleh sederet prestasi yang telah diukir FKIP Unila, diantaranya: pemenang hibah PGSDB (untuk PGSD S1), hibah DIA (Dana Insentif Akreditasi) Bermutu sebagai penguatan kelembagaan S1 PGSD berkolaborasi dengan program studi Pendidikan Kimia, hibah Lesson Study, penyelenggara sertifikasi guru dalam jabatan dengan pringkat terbaik 7 tingkat nasional.
Beliau menuturkan bahwa langkah awal yang dilakukan melalui peningkatan kinerja dosen. Ia meyakini besarnya sebuah perguruan tinggi ditentukan oleh berapa banyak karya dosen. Dari dosen yang inovatif dapat diciptakan calon-calon guru yang profesional dan bermartabat. Selain itu, beliau juga akan memprioritaskan peningkatan pelayan kepada stakeholders kampus, terutama mahasiswa. Hal ini merupakan syarat penting dalam peningkatan mutu kampus mengingat keinginan mahasiswa yang dinamis dan tak pernah puas.
Harapan ini menuntut seluruh komponen kampus yang ada harus bekerja keras untuk mencapai apa yang tersirat di dalam motto FKIP Unila yang diusung oleh dekan yang baru ini, yaitu kampus FKIP Unila Inovatif dan Edukatif yang Religius. Secara filosofis, Inovatif berarti FKIP Unila harus selalu berinovasi dan menjadi referensi bagi LPTK lain se-Indonesia. Edukatif berarti mendidik dengan sepenuh hati serta Religius yang berarti berdasarkan keimanan dengan mengimplementasikan dan membumikan nilai-nilai keagaman di lingkungan kampus.
Optimis dengan visi dan misi yang diembannya, kepemimpinan pak Bujang yang baru beberapa bulan ini ternyata telah menghasilkan perubahan nyata, salah satunya adalah pemasangan CCTV yang dipantau secara langsung dari ruang kerja beliau. CCTV dipasang di 8 titik aktif yang menjadi pusat aktivitas mahasiswa, seperti di aula K. Harapannya, agar pemanfaatan fasilitas kampus dapat dikontrol secara efektif. Sebagai contoh, saat ada acara peringatan hari besar, perlombaan, kuliah umum, atau event lainnya, mahasiswa atau dosen tidak perlu lagi bersusah payah mencari tempat yang representatif. Apalagi aula K juga telah direnovasi dan memiliki fasilitas lengkap seperti LCD yang built in dan ruangan full AC.
Selain itu, pembangunan sumur bor baru di depan gedung E2 adalah satu cara beliau untuk meningkatkan fasilitas yang ada di FKIP. “Selama ini, mahasiswa selalu mengeluhkan jeleknya kualitas toilet, namun saya justru tidak terburu-buru merenovasi toiletnya, karena masalah utamanya adalah kurangnya persediaan air di FKIP Unila. Jika air sudah terpenuhi, maka toiletpun akan bersih. Menyelesaikan masalah juga harus dari akarnya!” tuturnya.
Perubahan lain yang dirasakan adalah memperluas sistem pelayanan akademik secara online yang memungkinkan mahasiswa mendapat kemudahan dalam menyelesaikan masalah administrasi akademik, sehingga mahasiswa dapat lebih berkonsentrasi dalam belajar.
”Menghidupkan kampus yang memotivasi” juga merupakan langkah menuju kampus terdepan. Dalam arti, kampus harus memotivasi setiap warganya agar berkarya. Suasana yang memotivasi dapat dimunculkan melalui gambar, ungkapan, bahkan dengan musik.
Adapula pembangunan kampus yang menonjolkan alam yang sesuai dengan landscape FKIP Unila. Beliau ingin menjadikan alam di seputar kampus sebagai model inspirasi karena kampus alam lebih baik dari kampus eksklusif. Apalagi manusia yag bersahabat dengan alam akan mampu menguasai dan memanfaatkan alam, bukan dimanfaatkan dan dikuasai alam. “Biarlah tinggal di gedung tua tetapi orang-orangnya terdidik dan berkualitas.” tegas beliau. Dalam bahasa lain beliau mengungkapkan, “No matter where we live, we have to think ahead”.
Untuk mewujudkan semua ini, lanjutnya, yang diperlukan adalah kedisiplinan, yaitu kedisiplinan yang bertanggung jawab dan penuh kesadaran. Kedisiplinan mahasiswa antara lain dapat dilihat dari kesadarannya sebagai calon pendidik. ”Hal ini dapat dicerminkan dari penggunaan pakaian. Contohnya, kalau PPL kan harus pakai rok. Jadi kalau tidak punya kesadaran profesi pasti akan tersiksa”, imbuhnya. Sedangkan kedisiplinan dosen dan pegawai dilihat dari pelayanan dan kerjasama yang diberikan untuk menciptakan suasana yang kondusif.
Semoga... (Int/Hes)

Profesionalisme Tenaga Kependidikan

Oleh :
Prof. Dr. Cucu Sutasyah, M.A.

Kegiatan pendidikan pada hakikatnya adalah peningkatan sumber daya manusia (SDM). Dalam upaya meningkatkan kualitas SDM, peranan Tenaga pendidik (guru atau dosen) dalam proses pendidikan memegang peranan penting. Merekalah kelompok yang dapat dikatakan sebagai ujung tombak untuk membentuk manusia-manusia cerdas, sehingga mampu beertahan (survive) dan dapat menjadi agen pembangunan pada masa globalisasi.

Sebagai manusia yang berkualitas, mereka diharapkan mampu menghadapi tantangan dan persaingan pada masa mendatang. Oleh karena itu, keberhasilan guru/pendidik bisa dianggap sebagai tolok ukur keberhasilan peningkatan SDM. Berhasil atau tidaknya pencetakan SDM atau keberhasilan anak didik dalam menyerap ilmu pengetahuan tergantung pada profesionalisme dan dedikasi guru dalam tugasnya.
Dalam situasi apa pun, profesi guru dalam masyarakat tetap mendapat penghargaan dan dinilai sebagai profesi yang membantu mencerdaskan bangsa, sebagai pemberi inspirasi, pendorong semangat dan pelatih dalam penguasaan kecakapan tertentu bagi generasi muda. Dapat dipastikan bahwa guru/pendidik yang semakin bermutu akan semakin besar sumbangannya terhadap perkembangan tingkat intelektual siswa dan perkembangan masyarakatnya. Sebagai pendidik, guru harus mempunyai sifat yang baik dan terpuji.
Samana (1994) memberikan kriteria tentang sifat dan perilaku yang harus melekat pada seorang guru yang bermutu, antara lain: 1. mampu berperan sebagai pemimpin di antara kelompok siswa dan juga di antara sesamanya, 2. mampu berperan sebagai pendukung serta penyebar nilai-nilai luhur yang diyakini, sekaligus sebagai teladan bagi para siswa serta lingkungan sosialnya, 3. giat mencari kemajuan dalam peningkatan kecakapan diri dan meningkatkan pengetahuan dalam berkarya serta dalam pengabdian sosialnya, 4. dalam hal teknis didaktis, mampu berperan sebagai fasilitator pengajaran (sebagai nara sumber yang siap memberi konsultasi terarah bagi siswanya), 5. mampu mengorganisasi pengajaran secara efektif dan efisien, 6. mampu membangun motivasi belajar siswanya, berperan dalam layanan bimbingan, dan sebagai penilai belajar siswa.
Lebih dari itu, guru melalui Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dipersiapkan agar mampu memiliki sifat dan beberapa kemampuan. Antara lain, dapat melaksanakan tugas sebagai warga negara yang memiliki latar belakang pendidikan universitas; mampu menguasai, mengembangkan pengetahuan kependidikan, dan melaksanakan tugas sebagai tenaga pendidik. Menurut Undang-undang Guru dan dosen, guru/tenaga pendidik harus memiliki beberpa kompetensi, yaitu, kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial.
Ternyata profesi guru tidak ringan seperti yang dibayangkan orang awam. Tugas dan tanggung jawab seorang guru sebagai tenaga profesional sangat berat dan mengikat. Lebih dari itu, seorang guru juga dituntut memiliki keterampilan dan kemampuan praktis sehubungan dengan tugas-tugas profesinya. Guru misalnya, harus menguasai teori dan praktek ilmu mendidik dan metode mengajar; mampu membuat keputusan dan perencanaan dalam pendidikan, merencanakan program belajar mengajar dan melaksanakannya serta sekaligus melakukan evaluasi program; mampu melakukan dan mengidentifikasi data tentang permasalahan belajar-mengajar untuk dianalisis dan disimpulkan, serta mampu memberikan rekomendasi untuk pengembangan teori dan praktek. Selain itu, guru juga harus tahu hal-hal seperti struktur kurikulum, pengembangan, penjabarannya. Demikianlah hal-hal yang menyangkut profesi guru.

Jabatan Profesional
Apa arti profesional? Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu dan norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (uu no.14/2005 ps 1). Selain itu ciri-ciri sesorang dikatakan memiliki profesionalitas, ialah
1. Memiliki keahlian khusus, artinya orang yang profesional adalah ahli dibidangnya. Seorang guru bahasa dia harus menguasai seluk beluk bahasa (linguistik).
2. Merupakan suatu panggilan hidup, seorang profesional harus memiliki jiwa pengabdian untuk sesama.
3. Memiliki teori yang baku; hal ini berkaitan dengan poin pertama, dia harus menguasai teori di bidang spesialisasinya.
4. Mengabdikan diri untuk masyarakat, keahliannya harus diamalkan dalam bentuk pengabdian.
5. Kecakapan diagnostik dan kompetensi yang aplikatif. Seorang guru harus mampu melihat permasalahan dan mampu mencari
jalan keluarnya.
6. Memiliki otonomi, seorang profesional tidak terlalu tergantung pada orang, dia harus mampu menentukan dan memberikan keputusan.
7. Mempunyai kode etik, dia harus memiliki aturan sesuai dengan norma dalam bertindak dan bergaul
8. Mempunyai klien, maka kalau dia pendidik maka kliennya adalah peserta didik.
9. Memiliki komitmen terhadap mutu; dia selalu berusaha mengembangkan dan memperbaiki diri
10.Memiliki kualifikasi akademik, ini artinya bahwa orang yang profesional harus memiliki latar belakang pendidikan formal yang sesuai dengan bidangnya dan ditempuh dalam waktu yang relative lama dan ditunjukkan dengan seritifakt (Izajah). Maka seorang pendidik profesional harus memiliki latar belakang pendidikan dari lembaga LPTK/kegururan. Jadi seorang profesional bukanlah kemahiran yang kebetulan.
11. Mempunyai organisasi profesi; hal ini penting untuk sarana pengembangan profesi dan mempunyai hubungan dengan profesi lain.

Guru/pendidik yang profesional bukan hanya ditentukan oleh kemampuannya untuk melaksanakan tugasnya sebagai guru dengan kriteria dan sifat yang melekat padanya, tetapi juga ditentukan oleh kriteria yang lain. Menurut Suhertian (1994), profesional memiliki makna yang lebih luas: 1. ahli (expert), 2. tanggung jawab (responsibility), baik tanggung jawab intelektual maupun moral, dan 3. memiliki rasa kesejawatan.
Seorang guru harus juga seorang ahli, artinya dia ahli di bidang pengetahuan yang diajarkan dan ahli dalam tugasnya sebagai pendidik untuk menanamkan konsep-konsep pengetahuan yang diajarkannya. Mengajar adalah sarana pendidikan untuk menyampaikan pesan-pesan. Seorang guru tidak hanya cukup menguasai bahan ajar yang diajarkan atau hanya menguasai cara mengajar, sementara dia bukan ahli bidang studi yang diajarkan. Bahkan ada kriteria lain bahwa seorang guru harus menyampaikan pesan-pesan didik.
Selain itu seorang pendidik harus memiliki beberapa fungsi: dintaranya (1) sebagai demonstrator. Ini artinya seorang pendidik harus tampil di depan menunjukkkan dan memberikan penjelasan tentang hal yang berkaitan dengan keahliannya. Sehingga untuk hal ini dia harus menguasai bahan dan materi pembelajaran. Dengan kata lain dia harus menguasai teori pembelajaran dan menguasai berbagai teknik pembelajaran. Kemudian seorang pendidik (2) manguasai hal yang berhubungan dengan pengelolaan kelas sehingga proses pembelajaran berlangsung baik sesuai dengan rencana. Berikutnya (3) seorang pendidik harus berperan sebagai mediator dan fasilitator, yaitu mampu menjadi perantara antar berbagai pihak dalam warga sekolah. Mampu melakukan hal-hal yang berhubungan dengan tugasnya, seperti, mendorong tingkah laku sosial yg baik, mengembangkan gaya interaksi pribadi, menumbuhkan hubungan yan positif, dll. Fungsi pendidik yang lain adalah (4) sebagai evaluator, yaitu mampu mengukur keberhasilan suatu pembelajaran; mengetahui apakah tujuan sudah tercapai atau belum. Ciri Pendidik profesional yang kedua adalah memiliki tanggung jawab. Seorang pendidik selain menguasai bidang studi, cara mengajar, ia juga harus memiliki tanggung jawab dan memiliki kemandirian (otonomi). Ia harus memiliki kemandirian dalam mengemukakan apa yang harus disampaikannya berdasarkan keahliannya, walaupun ada pendidik yang belum berpengalaman yang pada awalnya masih belajar dan magang.
Pendidik yang profesional tidak terlalu tergantung pada orang lain, tetapi ia bukan otoriter, menganggap dirinya paling benar. Pada ciri ini pendidik harus bertanggung jawab, dalam arti, bahwa ia mampu memberikan pertanggung-jawabannya tentang hal yang ia lakukan. Tanggung jawab di sini memiliki makna yang luas, yakni bertanggung jawab pada diri sendiri, terhadap anak didiknya, orang tua murid, dan kepada masyarakat secara keseluruhan.
Ciri yang ketiga adalah memiliki kesetia-kawanan profesi. Menjadi seorang pendidik atau mengajar adalah suatu profesi. Tentunya pendidik yang profesional sadar akan profesinya dan mengetahui kode etik profesi. Dengan organisasi profesi ini seorang pendidik mengembangkan rasa kesejawatan. Seorang guru/pendidik harus berusaha mempertahankan dan meningkatkan citra guru di masyarakat sehingga perilakunya di masyarakat harus mencerminkan dirinya sebagai guru yang mempunyai perilaku yang dapat dicontoh atau diteladani.
Menurut Raka Joni, jabatan profesional adalah bukan sejenis kemampuan atau keterampilan yang didapat dari pembiasaan atau pengalaman dan warisan orang tua, tetapi seorang pekerja profesional dituntut menguasai visi yang mendasari keterampilannya yang menyangkut wawasan filosofis, pertimbangan rasional, dan memiliki sifat positif dalam melaksanakan serta mengembangkan mutu karyanya.
Secara terinci, jabatan guru sebagai jabatan profesional oleh Samana (1994) diuraikan sebagai berikut: 1. bagi para pelakunya secara nyata dituntut berkecakapan kerja (berkeahlian)sesuai dengan tugas-tugas dan tuntutan dari jenis jabatannya (cenderung ke spesialisasi), 2. kecakapan atau keahlian seorang pekerja profesional bukan hasil pembiasaan rutin atau latihan rutin, tetapi perlu disadari oleh wawasan keilmuan yang mantap. Jabatan profesional menuntut pendidikan pra-jabatan yang terprogram, 3. pekerja profesional dituntut berwawasan sosial yang luas, sehingga pilihan jabatan serta kerjanya didasari oleh kerangka nilai tertentu (bukan ikut-ikutan), bersikap positif terhadap jabatan dan perannya, dan bermotivasi serta berusaha untuk berkarya sebaik-baiknya. Selalu meningkatkan diri, mencintai profesi, dan memiliki etos kerja yang tinggi, 4. jabatan profesiomal perlu mendapat pengesahan dari masyarakat dan atau negara. Jabatan profesional memiliki syarat-syarat dan kode etik yang harus dipenuhi oleh pelakunya. Bagi jabatan guru, syarat yang harus dipenuhi adalah ketentuan kepegawaian (misalnya PP No. 38 tahun 1992).
Dengan demikian dapat kita katakan bahwa guru adalah jabatan profesional dengan segala atribut yang melekat pada dirinya, serta kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya. Kriteria di atas dapat dijadikan acuan apakah seorang guru dapat dikatakan profesional atau tidak. Citra guru yang sempurna, yang ideal, selamanya merupakan cita-cita masyarakat.

Beberapa Isu Kebijakan
Profesionalisasi guru ialah usaha atau kegiatan untuk meningkatkan profesi guru dengan tugas utamanya mengajar. Kita menyadari bahwa tidak semua guru yang ada dan tenaga kependidikan yang dihasilkan adalah guru yang terlatih baik (well trained) dan berkualifikasi baik (well qualified) sehingga perlu diadakan usaha peningkatan kualitas dan keterampilan guru.
Profesionalitas dapat diartikan proses menempatkan/ memperkerjakan seseorang pada tempat/ pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahliannya, pengalamannya, pendidikannya, atau disebut “the right man on the right place. Tetapi yang sering terjadi adalah “the right man on the wrong place” atau bahkan “the wrong man on the wrong place. Misalnya, orang yang bukan berlatar-belakang kependidikan mengelola bidang kepependidikan.
Profesionalitas juga dapat diartikan melindungi suatu profesi dari pihak yang bukan bidangnya. Memperjelas mana yang profesional dan mana yang bukan; mana yang berhak dan mana yang tidak berhak, dst. Jadi kita tidak boleh menyederhanakan atau memandang mudah suatu hal dengan berbagai alasan. Misalnya, semua orang bisa berbahasa Indonesia, maka dengan serta merta dia boleh mengajar Bahasa Indonesia; orang pernah ke Amerika, bisa berbahasa Inggris, lalu dia pulang mengajar bahasa Inggris, sementara dia ke luar negeri bukan belajar pendidikan bahasa; orang ke Jepang atau ke Cina, pulang mengajar bahasa Cina atau Jepang. Orang berlatar belakang ilmu pertanian menjadi nara sumber dengan topic “bahasa ilmiah” dst. Untuk hal tersebut, Prof Margono Slamet, mantan rektor Unila pernah mengatakan di gedung G FKIP tahun 1986, tindakan semacam itu bisa dianggap sebagai “pelecehan” profesi.
Kalau kita hubungkan dengan kriteria guru/pendidik yang profesional seperti yang diuraikan sebelumnya, kebijakan itu kurang efektif karena sulit untuk mencapai tingkat profesionalisme yang memadai.
Untuk menciptakan guru baru yang profesional dengan dua keahlian (misal, guru bahasa Inggris sebagai keahlian kedua) cukup sulit. Walaupun, misalnya,guru yang bersangkutan profesional dalam bidang ajar yang pertama, tetapi dia tidak dengan otomatis ahli dalam bidang ajar yang baru. Sementara usia, semangat, dan minat tidak sebaik ketika memasuki keahlian pertama. Walaupun ada anggapan, seperti yang diuraikan sebelumnya, bahwa apabila seseorang memiliki keahlian mengajar dan berpengalaman, ia diharapkan mampu mengajar dua bidang sekaligus.
hal ini bisa diterima, tetapi yang menjadi pertanyaan apakah dia dapat menjadi guru yang profesional pada bidang yang baru itu. Dapatkah dia bertanggung jawab dengan apa yang dia ajarkan ? Tanggung jawab pada dirinya sendiri, kepad anak didik, orang tua dan masyarakat. Saya kira penguasaan bidang yang baru itu tak dapat dikuasai dalam waktu yang singkat.
Sebagai contoh, dalam pencetakan guru yang mampu berbahasa bahasa Inggris, seperti dalam kasus sekolah SBI. Guru harus mengajar dengan menggunakan bahasa pengantar Bahasa Inggris. Calon guru yang sebelumnya tidak menguasai keterampilan dasar bahasa Inggris, tentu tidak bisa dengan mudah “ dicetak “ menjadi guru yang berbahasa Inggris. Penguasaan keterampilan bahasa Inggris memerlukan waktu yang cukup lama melalui latihan-latihan yang panjang untuk menguasai keterampilan dan kaidah kebahasaan, seperti kemampuan berbicara, membaca, menulis, perlafalan ( pronounciation ).
Semua latihan itu harus didorong oleh kemauan keras, motivasi tinggi, dan keuletan. Apakah yang diharapkan dari mereka yang memiliki keterbatasan waktu belajar, motivasi yang rendah, dan usia yang relatif mendekati tua? Seorang guru bahasa (terutama bahsa Inggris) adalah merupakan model atau contoh utama bagi muridnya, sementara keterampilan berbahasa mereka sangat terbatas. Kalau hal ini dipaksakan kemungkinan akan merusak bahasa anak karena anak akan diberi contoh yang tidak benar.
Lebih dari itu mereka juga harus menguasai cara menyampaikan/ mengajar bahan pelajaran yang berbeda dengan cara penyampaian bahan ajar lain. Tampaknya kita tak dapat mengharapkan sesuatu dari guru semacam itu ; guru yang kurang berkualitas dan profesional.
Untuk menjadi guru yang profesional tidak mudah, walaupun tampaknya hampir semua guru ingin menjadi yang profesional, disenangi murid-muridnya, dan dapat menghasilkan lulusan yang terampil, Namun, beberapa kendala tampaknya tidak mudah dihindari. Fenomena yang paling mendasar adalah berhubungan dengan administratif yaitu penggajian guru, dan keterbatasan tenaga pendidik. Namun hal itu tidak bisa dijadikan alasan utama kalau kita ingin disebut profesional. (Cu/Bud)

Optimalisasi Peran Guru dalam Pembelajaran Bahasa

Oleh Budi kadaryanto

Proses pembelajaran yang berhasil dapat tercapai jika guru dapat menjalankan perannya secara maksimal sebagai seseorang yang akan menjadi penentu utama dari sebuah pertunjukan yang bernama proses belajar-mengajar.

Ketika siswa terlibat dalam aktivitas yang melibatkan kemampuan berbahasa mereka, baik secara spontan maupun yang sifatnya latihan, seorang guru akan berperan sebaik mungkin supaya proses pembelajaran bisa berlangsung efektif dan efisien. Sebagai salah satu motifnya adalah guru sebagai penentu berjalannya proses pembelajaran harus selalu bisa untuk melibatkan siswa (engagement) dalam melakukan improvisasi dengan kapabilitas kebahasaannya karena setiap peristiwa memiliki makna dan ciri khas masing-masing.

Lebih lanjut, guru harus mampu melakukan berbagai perencanaan pembelajaran yang sistematis dan jika diperlukan dapat diwujudkan dalam bentuk modul pembelajaran. Di samping itu, guru juga dituntut untuk mampu mengatur pola pembagian waktu pengajarannya dan memberikan peluang yang sebesar-besarnya kepada tiap siswa untuk lebih kreatif. Sebagai seorang manajer, dia harus mampu mengontrol setiap proses yang berlangsung dan memastikan apakah sudah berada pada trek yang benar untuk mencapai tujuan pembelajaran, menjaga agar para siswa tetap pada tujuannya, dan tentu saja terlibat dalam evaluasi dan umpan balik yang berkesinambungan yang tetap berasaskan pada tipikal individu untuk berkarya sesuai dengan bidang keahlian mereka sendiri.

Guru hendaknya juga mampu untuk memfasilitasi proses pembelajarannya supaya bisa mendorong siswa untuk menemukan jalannya sendiri untuk mencapai jalan sukses yang bisa diraihnya, serta memberikan bimbingan dan arahan yang proporsional. Dalam hal ini, guru juga berperan sebagai motivator dengan mendorong siswa untuk menggunakan bahasa secara pragmatis daripada sekadar memberitahu mereka tentang bahasa karena guru merupakan salah satu sumber bagi siswa untuk menerima masukan-masukan darinya sebagai bahan untuk memperkaya khazanah kemampuan yang mereka miliki.

Pembelajaran Berbasis Kompetensi
Untuk mencapai keberhasilan dalam pembelajaran, di samping beberapa hal yang harus diperhatikan oleh guru sebagaimana tersebut di atas, guru juga diharapkan mampu untuk merencanakan pembelajarannya sesuai dengan tingkat kemahiran (competence) siswa. Pendekatan yang mereka gunakan untuk mengajar anak sekolah dasar tentu saja berbeda dengan pendekatan yang harus mereka gunakan ketika mereka mengajar siswa sekolah menengah lanjutan atas. Hal tersebut semata-mata dikarenakan tingkat perkembangan bahasa mereka berbeda dan keperluan bahasa untuk kehidupan mereka juga berbeda-beda pula.

Peran yang harus diambil oleh guru dalam melakukan proses pembelajaran terhadap siswa di tingkat pemula diharapkan menggunakan cara dan metode yang tepat sesuai dengan tingkat kemampuan mereka untuk menyerap dan menggunakan bahasa itu sendiri. Salah satu karakter dari siswa di tingkat pemula adalah bahwa perkembangan bahasa mereka sangat bergantung pada guru sebagai model yang mereka ambil untuk pola berbahasa mereka. Oleh karena ketergantungan mereka terhadap guru masih sedemikian besarnya, model pembelajaran yang tepat bagi mereka adalah teacher-centered learning ketimbang student-centered learning. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Brown (1994) yang memaparkan tentang bagaimana gurus harus berperan dalam proses pembelajaran sesuai dengan tingkat kemahiran siswa (teaching across proficiency level).

Lebih lanjut, dia memaparkan bahwa pada tahap kemampuan berbahasa siswa tingkat menengah. Peran yang harus diambil oleh guru tentu saja harus sedikit berbeda dengan tingkat pemula atau tingkat dasar. Jika pada tingkat pemula peran guru adalah semata-mata sebagai role model dalam pendekatan yang berpusat pada guru, pada level ini guru hendaknya bisa memberikan kesempatan yang lebih bagi siswa untuk melakukan berbagai inisiatif dalam menggunakan bahasa yang mereka pelajari. Pada level ini peran aktif siswa juga sangat diperlukan sehingga hendaknya antara guru dan siswa memiliki kesempatan yang lebih untuk menggunakan bahasa yang mereka pelajari. Kegiatan komunikasi yang bisa mereka lakukan pada level ini bisa berupa tanya-jawab, diskusi, memberikan pandangan dan komentar dan lain sebagainya. Pemilihan bentuk-bentuk komunikasi antara guru dan siswa tersebut tentu saja harus disesuaikan dengan materi pembelajaran yang menjadi pokok bahasan. Oleh karenanya, pada level ini guru juga diharapkan untuk bisa mengurangi jumlah kata yang ia gunakan, mengurangi dominasinya di dalam proses pembelajaran, dan lebih memberikan kesempatan tersebut pada siswa sehingga tidak terkesan membatasi kesempatan siswa untuk menggunakan bahasa yang mereka pelajari.

Kemudian, pada proses pembelajaran bahasa pada tingkat yang lebih tinggi lagi, atau pada tingkat mahir, proses komunikasi antara guru dan siswa yang terlibat harus lebih berbobot, efektif dan efisien. Guru hendaknya lebih mengurangi kesempatan berbahasa yang ia miliki, melainkan kesempatan tersebut hendaknya dialihkan untuk memaksimalkan peran dan kesempatan siswa di dalam kelas. Jadi, pada level ini, peran guru yang harus diambil hendaknya lebih bersifat pada kemampuan mengelola kelas. Dalam arti, guru hendaknya mampu mengatur dan mengarahkan situasi kelas sedemikian rupa sehingga siswa mampu mengeksplorasi kemampuan berbahasa siswa dan mampu mengeksplorasi jenis-jenis komunikasi yang telah mereka pelajari. Kegiatan pembelajaran yang bisa diambil seperti pada kegiatan kegiatan mereka di tingkat menengah, seperti diskusi dan tanya jawab, adu argumen, menganalisis suatu masalah dan mengungkapkannya dengan benar, bermain peran, dan lain sebagainya. Hal ini lebih cenderung karena pembelajaran bahasa harus berpusat pada siswa, tidak lagi pada guru.

Pembelajaran Berbasis Keterampilan Bahasa
Terdapat empat keterampilan berbahasa yang harus dimiliki oleh siswa sebagai output dari proses pembelajaran mereka, yaitu keterampilan menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Setelah membahas tentang peran-peran guru pada proses pembelajaran bahasa beserta metode-metode yang dapat diterapkan oleh seorang guru, empat keterampilan tersebut seyogianya juga menjadi hal yang harus diperhatikan oleh seorang guru dalam mengembangkan kemampuan berbahasa peeserta didik.

Peran yang dapat dilakukan oleh seorang guru dalam meningkatkan keterampilan menyimak siswa dapat dilakukan secara intensif untuk memberikan input yang positif dan membangun kepercayaan mereka untuk menjadi pendengar yang baik. Hal ini sebaiknya menjadi perhatian yang lebih dari seorang guru daripada hanya sekadar menguji keterampilan menyimak mereka dan memberikan penilaian terhadap keterampilan tersebut. Hal ini akan dapat memberikan jalan bagi siswa untuk menilai dan menyeleksi hal-hal yang seharusnya mereka dengarkan atau simak maupun tidak.

Tekait dengan keterampilan berbicara siswa, peran yang paling penting yang hendaknya diambil oleh seorang guru adalah membuat bagaimana siswa dapat berbicara secara efektif dan efisien sesuai dengan topik pembicaraan. Selain itu, yang juga harus kita perhatikan adalah siswalah yang harus lebih dikembangkan kemampuan berbahasa lisannya. Oleh karena itu, mereka harus diberikan kesempatan yang lebih untuk mengekspresikan ide-ide mereka secara lisan. Di sini seorang guru seyogianya bisa memastikan apakah hal-hal tersebut sudah berhasil terpenuhi.

Harmer (2007) menyebutkan bahwa terdapat beberapa peran yang bisa diambil oleh guru dalam meningkatkan kemampuan siswa dalam membaca, yaitu: mengorganisasi kegiatan membaca siswa, melakukan observasi ketika siswa membaca, memberikan feedback, serta mengarahkan siswa untuk menganalisis bacaan yang sedang dibahas. Hal-hal tersebut hendaknya dilakukan sedemikian rupa sehingga siswa akan memiliki minat baca yang lebih dan mereka akan menemukan kegiatan membaca sebagai sebuah kegiatan yang menyenangkan.

Keterampilan menulis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam seluruh proses pembelajaran yang dialami siswa. Menulis memerlukan keterampilan karena diperlukan latihan-latihan yang berkelanjutan dan terus-menerus. Tujuan yang diharapkan dalam pembelajaran menulis adalah agar siswa mampu mengungkapkan gagasan, pendapat, dan pengetahuan secara tertulis serta memiliki kegemaran menulis. Dengan keterampilan menulis yang dimiliki, siswa dapat mengembangkan kreativitas dan dapat mempergunakan bahasa sebagai sarana menyalurkan kreativitasnya dalam kehidupan sehari-hari.(red)

Pelantikan Pembantu Dekan I FKIP Unila

Dr. Mulyanto Widodo, M.Pd. saat sumpah janji bakti menjabat sebagai Pembantu Dekan I di Aula K FKIP Unila


Rektor Unila, Prof. Dr. Sugeng P. Hariyanto, M.S., melantik penjabat Pembantu Dekan (PD) I FKIP Unila, Dr. Mulyanto Widodo, M.Pd., di hadapan senat FKIP Unila dan para undangan pada Kamis (21-10-2010) di Aula K, FKIP Unila. Dr. Mulyanto Widodo, M.Si. menjabat PD I sampai berakhirnya masa jabatan PD I yang lama. Selain ucapan selamat, Rektor juga menyinggung masalah-masalah akademik dan nonakademik, khususnya di FKIP Unila.
Dalam pernyataannya, Mulyanto menuturkan akan melanjutkan program kerja yang sudah dicanangkan oleh PD I sebelumnya. Namun, ia akan tetap mengedepankan skala prioritas yang ada berdasarkan visi dan misi yang ditetapkan, yaitu meningkatkan kinerja dosen, penjaminan mutu, aktivitas akademik dan nonakademik dalam proses pembelajaran, serta mengelola database secara lebih rapi dan terperinci. (Bay/Bud)

Kepala Sekolah Sebagai Ujung Tombak MBS

Sejak ditetapkannya Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, profesi guru menjadi salah satu pilihan favorit sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun, seiring dengan meningkatnya minat terhadap profesi guru, muncul pertanyaan besar: bagaimana mutu guru tersebut? Pertanyaan ini menjadi kajian besar di berbagai level penyelenggara pendidikan di Indonesia: bagaimanakah cara meningkatkan mutu guru dan menjadikan guru agar profesional.
Berbagai macam cara dan upaya untuk meningkatkan mutu guru telah dilakukan. Salah satu bentuk komitmen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unversitas Lampung (Unila) untuk meningkatkan mutu guru yaitu melalui kegiatan Pengabdian pada Masyarakat. Kegiatan tersebut dilakukan oleh dosen-dosen FKIP Unila untuk guru-guru bidang studi Kimia di SMA se-Bandar lampung yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Kimia. Kegiatan itu dilaksanakan di SMA Negeri 9 Bandar Lampung baru-baru ini.
Selain program studi Kimia, program serupa juga diadakan di SMA Negeri 2 Bandar Lampung, yakni khusus untuk mata pelajaran rumpun IPA. Salah satu materi yang diberikan yakni manajemen laboratorium IPA dalam konteks manajemen berbasis sekolah yang disampaikan oleh Dekan FKIP Unila Dr. Bujang Rahman, M.Si. pada 9 November 2010.
Bujang Rahman mengilustrasikan, tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia tertinggal oleh negara-negara tetangga, padahal Indonesia memiliki sumber daya yang sangat melimpah. Hal itu bisa terjadi karena rakyat Indonesia belum bisa me-manage sumber daya alam secara optimal. Jadi, akar permasalahannya adalah manajemen. Demikian pula dengan manajemen berbasis sekolah. Bagaimana me-manage semua sumber daya yang ada di sekolah merupakan faktor penentu tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan secara optimal.
Ia mengungkapkan bahwa rahasia keberhasilan semua itu adalah peran strategis seorang pemimpin. Pemimpin harus berpikir besar (thinking big) dan bekerja secara realistis. Kalau pemimpin itu berpikir besar tetapi tidak realistis, ia hanya akan menjadi “pemimpi yang besar”.
Laboratorium merupakan sumber belajar yang sangat vital dalam pembelajaran IPA di sekolah. Oleh karena itu, tugas utama kepala sekolah sebagai pemimpin, khususnya untuk pembelajaran IPA, antara lain memberdayakan manajemen laboratorium secara optimal dalam konteks manajemen berbasis sekolah.
Manajemen Laboratorium Berbasis Sekolah
Manajemen berbasis sekolah pada hakikatnya merupakan pemberian kewenangan desentralisasi otoritas dari pemerintah pusat kepada sekolah itu sendiri sebab yang mengetahui masalah sekolah itu adalah sekolah itu sendiri. Namun, karena tidak semua sekolah mampu menyusun perencanaan dengan baik, banyak sekolah yang belum mampu menghimpun berbagai potensi untuk mengembangkan sekolahnya, termasuk dalam mendapatkan bantuan dari pemerintah karena dianggap tidak memenuhi kriteria yang dipersyaratkan.
Melalui manajemen berbasis sekolah, sekolah dapat menghimpun berbagai potensi karena manajemen berbasis sekolah menganut filosofi pendidikan berbasis masyarakat. Dengan demikian, semua elemen masyarakat dapat berkontribusi terhadap sekolah sebagai satuan pendidikan. Salah satu implementasinya yakni diubahnya wadah partisipasi masyarakat dari BP3 menjadi komite sekolah.
Jika BP3 merupakan wadah untuk mengembangkan sekolah dengan cara memungut biaya sumbangan dari orang tua murid, komite sekolah merupakan mediasi antara sekolah dan sumber potensi yang ada, tidak hanya terbatas dari orang tua siswa saja.
Sebagai contoh kelemahan BP3, di sekolah yang mayoritas orang tua siswanya menengah ke atas, sumbangan BP3-nya akan lebih besar dibandingkan dengan sekolah yang mayoritas orang tua siswanya menengah ke bawah. Oleh karena itu, BP3 dianggap membentuk pola sekolah “yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin”. Walhasil, BP3 dihapuskan dan diganti dengan komite sekolah.
Ke depan, sekolah dapat membangun sekolahnya sesuai dengan keperluan dan kapasitas sekolah itu sendiri sehingga akan terjadi peningkatan mutu pembelajaran sebagaimana yang diharapkan masyarakat. Melalui penerapan manajemen berbasis sekolah, diharapkan sekolah
1. dapat menentukan keputusan sendiri,
2. lebih bertanggung jawab, dan
3.lebih mudah mengondisikan sekolah sehingga memudahkan guru untuk mengembangkan pembelajaran.
Intinya, dengan manajemen berbasis sekolah, diharapkan dapat tercipta kemandirian sekolah dalam mengolah sumber daya yang ada sehingga dapat mengurangi ketergantungannya pada pemerintah.
Dalam kaitannya dengan optimalisasi sumber daya, laboratorium merupakan sumber belajar yang sangat potensial dalam upaya pengembangan sekolah. Laboratorium adalah tempat melakukan percobaan dan pengujian. Sebagai tempat pengujian, laboratorium sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk melayani kebutuhan masyarakat luas, khususnya untuk melakukan pengujian terhadap berbagai keperluan, seperti air, zat kimia, serta berbagai kreasi lainnya, utamanya di bidang IPA. Jika fungsi laboratorium seperti ini dapat dioptimalkan, laboratorium dapat menjadi sumber pemasukan dana bagi sekolah. Akan tetapi, selama ini laboratorium hanya terbatas digunakan untuk melakukan percobaan bagi siswa. Untuk memfungsikan laboratorium sebagai sumber pemasukan bagi sekolah, laboratorium harus dikelola dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Tertib
2. Efektif
3. Keamanan
4. Kelengkapan
5. Fungsional
6. Pemeliharaan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada prinsipnya tentang bagaimana memanfaatkan secara optimal sumber daya yang ada di sekolah untuk menuju sekolah yang mandiri. “Jika ada sumber daya sekolah yang dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan dana, kenapa tidak? Yang penting, prinsipnya nirlaba,” ungkap Bujang Rahman yang penyandang doktor administrasi pendidikan ini.

PENDIDIKAN PROFESI GURU (PPG)
Sebuah Paradigma Baru Dunia Pendidikan

Seorang dokter harus mengikuti pendidikan profesi dokter agar mendapat pengakuan sebagai dokter. Seorang pengacara harus mengikuti pendidikan advokat agar memperoleh izin menjadi pengacara. Demikian pula dengan sarjana pendidikan, seseorang boleh memilih untuk menjadi guru atau tidak.
Jika ingin menjadi guru, seseorang harus mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) sebagai syarat untuk memperoleh sertifikat pendidik yang merupakan pemberian kewenangan dan pengakuan sebagai guru profesional. Inilah wacana awal dari Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang sedang digodok persiapannya oleh FKIP Unila.
Sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sarjana lulusan S-1 kependidikan yang ingin memperoleh kewenangan mengajar harus memiliki sertifikat pendidik. Sertifikat itu diperoleh melalui program PPG. Selain S-1 kependidikan, PPG juga bisa diikuti oleh sarjana non-kependidikan lainnya yang ingin menjadi guru, misalnya sarjana lulusan ekonomi atau rumpun IPA.
Namun, tentu saja ada perbedaan dengan mereka yang berasal dari sarjana pendidikan, seperti harus mengikuti matrikulasi atau penyetaraan terlebih dahulu. Apalagi, sarjana ilmu murni hanya dapat mengisi posisi guru SMP, SMK, dan SMA. Sementara itu, sedangkan posisi guru Taman Kanak-kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD) hanya dapat diisi oleh sarjana pendidikan guru TK dan pendidikan guru SD.
Untuk program studi yang akan menyelenggarakan PPG, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi, antara lain: dari sisi SDM memiliki 2 doktor dan 2 master, program studi tersebut memiliki sarana yang memadai, memiliki sekolah-sekolah mitra yang kredibel, taat asas kepatutan, tidak memiliki kelas jauh dan akreditasi minimal B. Jangka waktu pendidikan pun beragam, 1 semester untuk sarjana pendidikan TK dan SD dengan jumlah sks 18 untuk program studi PGSD dan 36 hingga 40 sks setara 2 semester untuk SMP dan SMA. Walau berbeda, semuanya tergantung pada kebijakan yang ada.
Untuk bisa mengikuti PPG, calon guru harus mengikuti serangkaian tes yang ketat. Hal ini tidak lain dalam rangka penjaminan mutu. Karenanya, kuota peserta PPG juga terbatas sekitar 25 orang per program studi. Diharapkan dari kuota ini benar-benar dapat menjaring calon guru yang mempunyai jiwa pendidik yang sejati. Selain itu, penentuan kuota guru haruslah dihitung secara cermat, baik jumlah maupun penyebarannya. Tujuannya agar tidak ada lagi sekolah yang kekurangan guru yang pada akhirnya mengangkat guru di bawah standar.
Dipandang dari segi peningkatan profesionalisme, PPG amat bagus untuk diterapkan. Namun, dari sisi kompetensi lapangan pekerjaan dengan minimumnya kuota yang ada, program ini justru mencemaskan bagi para calon guru. Mengapa? Karena kekhawatiran akan adanya persaingan antara lulusan program studi kependidikan dan nonkependidikan, antar fakultas bahkan antar universitas. Tidak menutup kemungkinan lulusan dari daerah tertentu yang tidak lolos di daerahnya bisa lulus di daerah lain.

Dosen Harus Siapkan Panduan-Panduan PPG
Dr. Mulyanto Widodo, M.Pd. atau yang akrab disapa Pak Mul selaku Pembantu Dekan I sekaligus ketua pelaksana lokakarya persiapan pelaksanaan PPG di Hotel Nusantara Bandar Lampung menyatakan kegiatan ini dilakukan selama enam hari yang terdiri atas tiga kegiatan, yaitu penyusunan buku ajar dan Subject Specific Pedagogy (SSP), dosen dan guru pamong, serta instrumen tes untuk uji seleksi rekrutmen dan uji kompetensi.
Kegiatan ini merupakan kegiatan lanjutan dari persiapan pelaksanaan PPG yang telah dilakukan beberapa waktu lalu di Jakarta oleh tim PPG nasional. PPG tersebut direncanakan pemerintah akan dimulai pada 2011.
Dr. Bujang Rahman, M.Si, selaku Dekan FKIP saat ditemu usai memberi sambutan dan membuka lokakarya tahap I di Hotel Nusantara menjelaskan bahwa dalam perencanaan program PPG tersebut, para dosen harus menyiapkan beberapa komponen, misalnya menyusun perangkat-perangkat seperti panduan umum, panduan seleksi rekrutmen, panduan bahan ajar, panduan penyelenggaraan work shop, panduan PPL, dan panduan assesme. Hal tersebut harus disiapkan sebelum dilaksanakannya PPG yang rencananya dimulai awal 2011.
Kegiatan ini diikuti oleh sepuluh program studi yang sebelumnya pernah mengajukan proposal sebagai penyelenggara PPG. Jadi, perguruan tinggi penyelenggara PPG akan ditetapkan oleh pemerintah dan kini sedang menunggu keputusan Menteri Pendidikan Nasional tentang program studi mana saja yang akan menjadi penyelenggara PPG.
Kegiatan selama enam hari tersebut, dua hari dilaksanakan di Hotel Nusantara. Tempat ini dipilih agar para peserta lebih berkonsentrasi, tidak terganggu oleh kegiatan-kegiatan rutin di kampus, di samping untuk menyegarkan suasana. Kemudian, kegiatan yang empat hari dilaksanakan di FKIP Unila untuk me-review panduan-panduan yang drafnya sudah dirumuskan di Hotel Nusantara.
Hasil workshop ini diharapkan tersusunnya panduan-panduan yang akan menjadi acuan dalam penyelenggaraan PPG, sebab panduan tersebutlah yang akan membuat PPG ini bisa dilaksanakan secara objektif, transparan, dan jujur. Jika dalam pelaksanaannya ada peserta yang mengklaim, mereka dapat melihat kembali panduan. Di sisi lain, meskipun FKIP Unila mendapat tugas yang sangat banyak, para dosen yang mengikuti kegiatan ini harus juga tidak melepas tanggung jawab masing-masing, yaitu melaksanakan tugas pokok melayani mahasiswa, seperti mengompromikan dengan mahasiswa tentang kontrak perkuliahan yang tertunda; bisa dengan mengganti perkuliahan pada jam atau hari lain.
“Saya yakin mahasiswa cukup memahami kegiatan ini”, ujar Pak Bujang (panggilan akrab Dr. H. BujangRahman, M.Si.). “Yang jelas mahasiswa tidak dihilangkan hak-haknya dalam perkuliahan dan para dosen harus tetap berkomunikasi dengan mahasiswa”, tegasnya. Hal ini menggambarkan tingginya komitmen FKIP Unila dalam memberikan pelayanan yang baik kepada mahasiswa. Tentu saja, komitmen ini bukan sekadar isapan jempol, melainkan secara nyata dirasakan oleh mahasiswa. (Red)

Shalat Goib

Belum tuntas penderitaan rakyat Indonesia dengan musibah yang menimpa negeri ini secara bertubi-tubi, serentetan bencana alam, seperti gempa dan tsunami di Mentawai serta letusan Gunung Merapi di Jawa Tengah, menimpa negeri ini. Musibah itu menelan banyak korban jiwa.


Keadaan ini pun menarik simpati seluruh rakyat Indonesia. Mereka mulai menyalurkan bantuan, baik berupa tenaga maupun materi. Demikian juga yang dilakukan para mahasiswa FKIP Unila, khususnya mahasiswa angkatan 2010.
Para mahasiswa ini melakukan salat goib untuk para korban bencana alam gempa dan tsunami di Mentawai dan letusan Gunung Merapi di Jawa Tengah. Dalam kegiatan ini Pembantu Dekan (PD) III Drs. H. Tontowi Amsia, M.Si. pada Jumat (12/11) memimpin jamaah salat goib untuk para korban bencana alam tsunami di Mentawai, Sumatera Barat, dan korban letusan Gunung Merapi di Jawa Tengah.

Salat goib tersebut dilakukan sekitar pukul 08.30, diikuti ratusan mahasiswa di lapangan parkir FKIP Unila. PD III yang akrab disapa Pak Tontowi itu mengimbau para mahasiswa FKIP untuk melakukan solat goib bersama-sama di lapangan parkir FKIP.

Kepedulian sosial mahasiswa FKIP Unila ini bukan hanya dalam bentuk spiritual saja. PD III juga melakukan penggalangan dana di seputar fakultas untuk para korban bencana alam tsunami di Mentawai dan letusan Gunung Merapi di Jawa Tengah.

Dana yang terkumpul disalurkan melalui BEM Universitas. “Ini (salat goib dan penggalangan dana, red) wujud kepedulian dan tindakan nyata kami. Kami merasa terpanggil dan ikut prihatin. Semoga yang terkena musibah dapat sabar dan ikhlas,” ujarnya. (Bay/Edi)

Pendidikan Kimia FKIP dan PGSD Unila Raih Hibah “DIA Bermutu”

Pendidikan Kimia FKIP dan PGSD Unila Raih Hibah “DIA Bermutu”

UU No. 20/2003 tentang SISDIKNAS pasal 35 : Standar Nasional Pendidikan, pasal 60: Akreditasi Program dan Satuan Pendidikan. UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 11 ayat 2: Institusi penyelenggara pendidikan guru harus terakreditasi. PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Kualifikasi akademik guru minimal S-1/D-4.
Sejak tahun 2006 DITJEN DIKTI telah memberi izin penyelenggaraan program studi S-1 PGSD untuk beberapa institusi. Pentingnya kontribusi akreditasi program studi S-1 PGSD terhadap Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi (AIPT) dan (DIA) Dana Insetif Akreditasi .
- Tujuan pemberian DIA adalah untuk Memfasilitasi peningkatan skor kecukupan akreditasi program studi S-1 PGSD yang pada akhirnya menuju pada pencapaian status akreditasi
- Memfasilitasi proses pembelajaran internal dalam pencapaian skor kecukupan akreditasi Program Studi di LPTK

Dra. M. Setyorini, M.Si menjelaskan bahwa hibah ini untuk Program Studi Pendidikan Kimia, mendampingi Program Studi PGSD UNILA. Melalui implementasi program hibah ini, diharapkan PGSD yang belum terakreditasi, dapat terakreditasi; dan akreditasi di Program Studi Kimia yang sebelumnya B dapat meningkat menjadi A.
Kemudian, untuk fakultas, kurang lebih tiga tahun ke depan diharapkan ada penambahan secara kualitas dan kuantitas di akreditasi program studi. “Jika prodi-prodinya terakreditasi baik, otomatis institusinya akan terakreditasi baik juga,” kata dosen Pendidikan Kimia yang akrab disapa Ibu Rini ini.
DIA bermutu dilaksanakan melalui program-program yang bukan investasi, yaitu program-program aktivitas, seperti melalui lokakarya, pembuatan buku ajar, program ICT. Sementara itu, untuk meningkatkan kemampuan ICT dosen atau TA, perlu dilakukan pelatihan, mendatangkan pakar, pengadaan dosen magang, serta peningkatan sarana dan prasarana seperti alat-alat laboratorium dan buku-buku perpustakaan.
Program hibah ini berlangsung dalam jangka waktu 3 tahun. Pada tahun pertama setiap prodi membuat pemetaan untuk meningkatkan skor akreditasi. Kemudian, dalam 1 tahun dapat dilihat poin peningkatan tersebut melalui program yang telah dilaksanakan.
Misalnya, untuk tahun pertama, Prodi Kimia menyelenggarakan lokakarya Metodologi Pembelajaran pada 18--19 Oktober 2010 di Gedung Pascasarjana FKIP. Kegiatan tersebut mengundang pakar dari UPI, yakni Prof. Dr. Suryati Arifin M.Pd. Pesertanya yakni 17 guru SMA yang ada di Bandarlampung, mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia, dan para dosen. Kemudian, juga diselenggarakan Teknikal Asisten Metodologi Pembelajaran Dosen pada 20--23 Oktober 2010 di ruang seminar Gedung G FKIP. Sementara itu, program selanjutnya yakni akan diadakan penelitian bersama mahasiswa.

PROGRAM HIBAH DIA-BERMUTU Pendidikan Kimia

Lokakarya “Peningkatan Kualitas Proses Pembelajaran”

Prof. Dr. Mulyati Arifin M.Pd. sebagai pemateri dari Pascasarjana Pendidikan Kimia UPI menuturkan bahwa pada dua dasawarsa terakhir terjadi berbagai perubahan dalam masyarakat. Perkembangan sains, teknologi, khususnya perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat, membentuk masyarakat yang dinamis dan kompetitif. Masyarakat menuntut peningkatan mutu pendidikan untuk penyiapan sumber daya manusia yang mampu berkompetisi dalam masyarakat global.
Tuntutan masyarakat yang cenderung bersifat global ini memerlukan pengembangan program pendidikan dengan pembakuan mutu dengan standar yang bersifat global pula. Perubahan yang terjadi pada masyarakat pun memberikan dampak pada perubahan belajar dan cara berpikir siswa.
Berbagai upaya peningkatan proses pembelajaran bertujuan membekali peserta didik dengan kemampuan yang dibutuhkan jika mereka terjun ke masyarakat. Bekal itu akan berguna dalam jangkauan 5--10 tahun yang akan datang (15-20 tahun untuk siswa SMP/SD).
Dari peranan tersebut, guru harus bisa mengira-ngira. Sementara itu, pembelajaran saat ini seolah-olah hanya mengejar materi; tanpa menekankan pada apa yang diperlukan anak untuk hidup pada saat terjun ke masyarakat, Masyarakat selalu bersifat berubah (dinamis) dan hal tersebut harus diantisipasi sedini mungkin.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dari UPI untuk Jawa barat, ternyAta yang menjadi kendala adalah pergantian kurikulum. Kurikulum selalu berganti tapi pembelajaran selalu bersifat monoton. Perbaikan pun hampir tidak ada. Guru memahami kurikulum hanya sepotong-sepotong, terutama yang terlihat saat pergantian kurikulum. Sementara itu, materinya tetap sama saja, padahal yang mendorong untuk perubahan perbaikan adalah isi materi kurikulum secara keseluruhan.
Itu terjadi karena kurikulum tidak dibaca guru dengan cermat; tidak dipahami, di antaranya tentang visi dan misi, isi, pembelajarannya, dan hasil yang diharapkan.
Materi satu bagian dari pengembangan kuri kulum jika guru hanya melihat materi itu saja tentu saja tidak berubah karena selama ini materi yang diajarkan dari SD SMA yang diberikan guru itu adalah Basic konsep. basik konsep itu misal 2 + 2 = 4 tapi seharusnya cara pembelajarnnya yang berubah karna hasil belajarnya harus berubah.
Saat ini pembelajaran di Indonesia selalu memberikan siswa terbaik kemudian nomor satu, itu selalu diberikan kepada prestasi akademik terutama kognitif, padahal yang dibutuhkan anak-anak dan masyarakat itu adalah keseimbnagan antara kecerdasan intelektual, emosional dan social “sehingga orang yang pinter banget akan berhasil dimasyarakat,” terangnya.
Oleh sebab itu guru atau dosen harus didorong memberikan pelajaran kepada peserta didik sesuai dengan tuntutan masyarakat yang sekarang dan akan masih dapat digunaka pada masa yang akan datang. Untuk itu guru/dosen harus belajar terus supaya orang harus belajar terus, karena orang akan melakukan sesuatu tergantung pada dosen maka terutama informasi-informasi yang dosen dapatkan harus mendukung begitu juga lingkungan , dan pada kenyataaannya sekarang ini pendidikan yang dosen ajarkan tidak dirasakan langsung untuk memecahkan masalah, antara yang sekolah dengan masyarakat tidak sesuai dengan harapan.
Pembelajaran harus sifatnya kontekstual ikut memecahkan masalah yang terjadi di masyarakat. Pembelajaran konteks tual maksudnya belajar tentang masalah yang terkait kemudian masalahnya teridentifikasi lalu blajar disiplin akan lebih baik kemudian dia akan bisa sampai memecahkan masalah meskipun masalah kecil-kecilan. Misalnnya pembelajaran Kimia yaitu penghematan air, penghematan energy, penghematan kertas, dan sebagainya belum diajarkan, “jadi nggak harus memecahkan permasalahan yang sifatnya besar, tapi dimulai dari yang kecil-kecil dan dapat dirasakan masyarakat pada umumnya,”tegasnya.

Tanggapan Peserta
Seorang dosen MIPA yang akrab dipanggil Pak Washinton mengatakan bahwa acara tersebut sangat relevan dengan peningkatan kualitas pembelajaran yang menjadi cita-cita bersama, bukan hanya pengayaan tapi juga untuk menggugah untuk berkomitmen dan Tertarik dalam peningkatan kualitas pendidikan kimia.
Mendapatkan filosofi pembelajaran yang belum didapat secara divinisi selama ini. Mengharapkan partisipannya dapat ditingkatkan secra berkelanjutan, secara teori dan pemahaman bertambah tapi untuk implementasinya yang harus dipikirkan .(Bay/bud)

Peringatan tahun baru islam FKIP Unila, Gelar Seminar Keagamaan

ahun Baru Islam 1432 Hijriah, Pembantu Dekan (PD) III Tontowi Amsia dan Forum Pembinaan dan Pengkajian Islam (FPPI) FKIP Unila menggelar seminar keagamaan pada Kamis (9/12/2010) di Aula K FKIP Unila. Acara yang bertema Kehidupan beragama kampus FKIP Unila itu dihadiri dosen Program Studi (PS) Pendidikan (Pend.) Fisika sekaligus Pemimpin Umum Unit Database FKIP Abdurrahman, dosen PS Pend. Bahasa Inggris Ujang Suparman, dan dosen Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia Muhammad Fuad sebagai pembicara.
Tontowi mengungkapkan mahasiswa sebagai calon guru harus beretika dan santun dalam berbicara. Apalagi, jika bertemu dengan sesama, dianjurkan mahasiswa mengucapkan salam. Menurut dia, hal tersebut perlu dibudayakan di FKIP Unila. Jika tidak dibudayakan, lambat laun akan hilang kebiasaan tersebut. “Jika bertemu sesama muslim, ucapkan salam, bukan 'hayo-hayo',” candanya.
Ia berharap mahasiswa dapat mengimplementasikan apa yang didapat dari kegiatan tersebut, seperti mengajak teman, terutama sesama program studi, untuk mengerjakan kebaikan mulai dari yang kecil terlebih dahulu.
Tontowi juga mengatakan, di samping memiliki wawasan intelektual, mahasiswa sebagai calon guru juga harus memiliki spiritual yang baik. Ia mengatakan jika spiritual seorang guru bagus, kualitasnya sebagai seorang guru juga akan ikut bagus. Namun, jika intelektualnya bagus tetapi agamanya tidak bagus, kehidupannya sebagai guru akan terasa hambar. “Jadi, harus seimbang: intelektualnya bagus, agamanya juga bagus. Apalagi jika (ilmu agamanya) dikaitkan dengan mata pelajaran. Alangkah indahnya menjadi seorang guru itu,” kata Tontowi.

Tontowi mengatakan mendukung kegiatan-kegiatan FPPI yang identik dengan keagamaan. Akan tetapi, dia menyayangkan FPPI yang selama ini menggelar acara-acara religius hanya untuk intern, tidak melibatkan mahasiswa secara umum, dalam hal ini fakultas. Ia berharap ke depan FPPI dapat melaksanakan kegiatan yang bersifat luas. Kegiatan tersebut sekaligus mencontohkan bahwa untuk melaksanakan kegiatan yang bersifat keagamaan, tidak harus menganggarkan biaya yang besar. (Bay/Nur)

Wujudkan UN 2011: Jujur, Terbuka, dan Objektif

Wujudkan UN 2011:
Jujur, Terbuka, dan Objektif

Terkait dengan pernyataan Menteri Pendidikan Nasional RI bahwa ke depan pelaksanaan UN tidak perlu ada target kuantitatif lagi—yang dibutuhkan di dalam UN hakikatnya adalah kejujuran, anggota DPD mengunjungi FKIP Unila untuk berdiskusi dengan pihak dekanat.
Anggota DPD yang mengunjungi FKIP Unila itu, Ahmad Jazuli, mengatakan DPD bermaksud mendalami masalah UN ini agar ke depan hal tersebut menjadi poin penting dan program konkret di daerah, terutama di sekolah. “Kami, DPD Lampung, mendukung pernyataan menteri pendidikan dengan menindaklanjutinya pada UN yang akan datang (2011, red),“ ujar Jazuli.
Dalam kunjungannya ke FKIP pada Selasa (4/1), ia mengatakan DPD RI menerima banyak masukan tentang pelaksanaan UN yang bertentangan dengan nilai moral guru, murid, dan pedagogi. Oleh karena itu, pernyataan menteri pendidikan tentang pelaksanaan UN yang jujur betul-betul sedang ditunggu aksinya.
Pada kesempatan itu, ia mengatakan DPD meminta agar Menteri Pendidikan Nasional menjadikan FKIP Unila sebagai lembaga pengembangan guru di Lampung. Konsekuensinya yakni FKIP Unila harus mampu memberi jaminan program dan infrastruktur yang cukup didalamnya. Hal itu dalam rangka untuk menyambut lembaga penjamin, penyedia, dan peningkatan mutu guru yang ada di Lampung.
Jazuli juga mengatakan FKIP Unila berencana bekerja sama dengan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) agar peranannya sebagai lembaga pengembangan guru dapat diwujudkan. Karena FKIP yang melahirkan guru, harus ada akses dengan para alumnusnya, yakni dalam bentuk pengembangan guru di Lampung.
Menurut dia, juga perlu dilakukan koreksi terhadap para pejabat pemerintah di daerah agar mereka tidak lagi mengagung-agungkan pencapaian sekolah yang berhasil menembus angka kelulusan yang tinggi. Adapun pencapaian ini sering tidak hanya berdampak mendorong semangat untuk mencapai makna baik dari pencapaian itu, tetapi juga mendorong hal-hal yang kurang tepat.

“Lebih baik hasil UN dijadikan sebagai parameter pengukuran pendidikan, keberhasilan pendidikan, dan pemetaan pendidikan. Misalnya, di satu tempat kekurangan pendidikan bahasa Inggris, laboratorium, serta kurangnya kualitas guru, dapat diketahui. Jadi,bukan kelulusan (yang diutamakan dari UN, red).
Terkait dengan paradigma UN yang jujur, Dekan FKIP Unila, Dr. Bujang Rahman, M.Si., mengatakan pada dasarnya paradigma tersebut sudah sejalan dengan filosofi pendidikan. Ia menuturkan pendidikan sebenarnya membentuk kepribadian, bukan mencapai target kuantitatif. Ia mengatakan bahwa kepribadian itu bersifat kualitatif.
“Menurut saya, yang paling penting adalah bagaimana daerah, baik provinsi maupun kabupaten, mengimplementasikan kebijakan ini dalam pelaksanaan UN, terutama pada 2011 ini. Jadi, apresiasi yang diberikan seyogianya tidak lagi pada kuantitas kelulusan dan jumlah siswa yang lulus, tetapi pada proses UN yang sesuai dengan harapan masyarakat. Jujur, terbuka, dan objektif yang paling penting,” ujar dia.
Di lain hal, Jazuli juga menuturkan empat politik pendidikan nasional, yakni (1) peningkatan mutu guru profesional dan guru sejahtera, (2) penundaan pembubaran PMPTK (dirjen peningkatan mutu tentang pendidikan) karena negara melihat ukuran dirjen ini terlalu besar. Akan tetapi, komunitas guru (pendidik) melihat lembaga semacam itu perlu dibuat karena guru sangat memengaruhi domain peningkatan sumber daya manusia Indonesia.
Kemudian, (3) Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK) yang ada harus ditingkatkan dan diseleksi. Jika tidak diseleksi, bisa saja sebuah lembaga membangun seleksi LPTK. Kemudian, dikhawatirkan nanti jika tak ada acuan standar kelulusan, hal itu akan menjadi masalah karena FKIP sedang pada posisi yang bagus. Adapun dari 362 LPTK yang ada, hanya kurang dari 10%-nya yang merupakan lembaga negeri.
Lalu, (4) program sertifikasi profesi guru satu tahun menjadi guru harus betul-betul menjadi profesi, bukan otomatis selesai dari gedung FKIP, selesai pula menjadi guru. Akan tetapi, guru harus memunyai pendidikan profesi seperti dokter. (Bay/Nur)














Dalam rangka memperingati Tahun Baru Islam 1432 Hijriah, Pembantu Dekan (PD) III Tontowi Amsia dan Forum Pembinaan dan Pengkajian Islam (FPPI) FKIP Unila menggelar seminar keagamaan pada Kamis (9/12/2010) di Aula K FKIP Unila. Acara yang bertema Kehidupan beragama kampus FKIP Unila itu dihadiri dosen Program Studi (PS) Pendidikan (Pend.) Fisika sekaligus Pemimpin Umum Unit Database FKIP Abdurrahman, dosen PS Pend. Bahasa Inggris Ujang Suparman, dan dosen Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia Muhammad Fuad sebagai pembicara.
Tontowi mengungkapkan mahasiswa sebagai calon guru harus beretika dan santun dalam berbicara. Apalagi, jika bertemu dengan sesama, dianjurkan mahasiswa mengucapkan salam. Menurut dia, hal tersebut perlu dibudayakan di FKIP Unila. Jika tidak dibudayakan, lambat laun akan hilang kebiasaan tersebut. “Jika bertemu sesama muslim, ucapkan salam, bukan 'hayo-hayo',” candanya.
Ia berharap mahasiswa dapat mengimplementasikan apa yang didapat dari kegiatan tersebut, seperti mengajak teman, terutama sesama program studi, untuk mengerjakan kebaikan mulai dari yang kecil terlebih dahulu.
Tontowi juga mengatakan, di samping memiliki wawasan intelektual, mahasiswa sebagai calon guru juga harus memiliki spiritual yang baik. Ia mengatakan jika spiritual seorang guru bagus, kualitasnya sebagai seorang guru juga akan ikut bagus. Namun, jika intelektualnya bagus tetapi agamanya tidak bagus, kehidupannya sebagai guru akan terasa hambar. “Jadi, harus seimbang: intelektualnya bagus, agamanya juga bagus. Apalagi jika (ilmu agamanya) dikaitkan dengan mata pelajaran. Alangkah indahnya menjadi seorang guru itu,” kata Tontowi.

Tontowi mengatakan mendukung kegiatan-kegiatan FPPI yang identik dengan keagamaan. Akan tetapi, dia menyayangkan FPPI yang selama ini menggelar acara-acara religius hanya untuk intern, tidak melibatkan mahasiswa secara umum, dalam hal ini fakultas. Ia berharap ke depan FPPI dapat melaksanakan kegiatan yang bersifat luas. Kegiatan tersebut sekaligus mencontohkan bahwa untuk melaksanakan kegiatan yang bersifat keagamaan, tidak harus menganggarkan biaya yang besar. (Bay/Nur)

Stadium Genera

Stadium General merupakan salah satu kegiatan rutin tahunan Universitas Lampung (Unila) yang dilaksanakan sebagai rangkaian kegiatan orientasi bagi mahasiswa baru di Unila. Untuk FKIP Unila, stadium general tahun ini diadakan lebih lambat daripada tahun sebelumnya. PD III pun menanggapi dan menyambut baik kegiatan ini.
Stadium general menjadi pencerahan atau pembekalan bagi mahasiswa baru tentang bagaimana menimba ilmu di perguruan tinggi, khususnya di FKIP. Hal ini karena masa transisi (dari siswa menuju mahasiswa) merupakan masa yang sangat menentukan sukses atau tidaknya mahasiswa dalam perkuliahan. Oleh karena itu, para mahasiswa baru wajib mengikuti Stadium kegiatan ini.
Sejak diterbitkannya Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, setiap tahun mahasiswa yang mendaftar di FKIP terus bertambah. “Penambahan yang sangat mencolok terjadi pada Program Studi S-1 PGSD FKIP Unila yang mendekati angka 3.000 pendaftar. Ini membuktikan bahwa FKIP Unila sudah menjadi salah satu fakultas favorit bagi masyarakat umum. Sekarang mahasiswa FKIP bukan orang pinggiran lagi. Sudah tidak ada lagi yang berpakaian lusuh dan sepatu yang koyak,” ungkap Tontowi.
Dari stadium general ini, diharapkan mahasiswa baru angkatan 2010 menjadi calon guru yang benar-benar berkualitas. Menurutnya, sesuai dengan konsep “menjadi guru yang dirindukan”, hal pertama yang harus dilakukan setiap calon guru adalah ikhlas menjadi guru; yang kedua, memiliki bakat dan minat menjadi guru. Orang yang pintar belum tentu menjadi pendidik yang baik. Begitu pula sebaliknya, orang yang tingkat kecerdasannya pas-pasan, belum tentu tidak bisa menjadi guru yang baik. Dengan kata lain, pada dasarnya setiap orang memiliki potensi untuk menjadi guru yang baik. Guru yang baik adalah guru yang dirindukan oleh muridnya. Kuncinya, sayangi murid sepenuh hati. (edi)

Peringatan Hari Sumpah Pemuda 28 0ktober 2010 Mahasiswa FKIP Tumpah Ruah

Untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda yang jatuh pada 28 Oktober, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) mengadakan upacara di depan Gedung Pascasarjana FKIP pada Kamis (28-10). Menurut Pembantu Dekan (PD) III Drs. H. Tontowi Amsia, M.Si., kegiatan tersebut bertujuan memotivasi mahasiswa.
Hal ini untuk mengingat para pahlawan pada 28 Oktober 1928 yang berjuang dengan menggunakan fasilitas senjata yang sangat terbatas dan pendidikan yang sangat rendah. Namun, dengan segala keterbatasan itu, mereka berhasil mempersatukan rakyat Indonesia.
Tontowi mengatakan peran pemuda sangat besar saat itu, seperti yang dikatakan Sukarno: Beri aku sepukuh pemuda maka akan kutaklukan dunia. Di zaman sekarang, peran pemuda dimainkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, seperti partai yang tidak jarang bertindak anarkis. Di samping itu, peningkatan-peningkatan teknologi dianggap tidak digunakan atau disalahgunakan. Bahkan, kepentingan partai tersebut memengaruhi mahasiswa/pelajar sehingga sisi nasionalisme mereka pun perlahan luntur.
Tontowi berharap peringatan sumpah pemuda ini dapat menjadi ujung tombak ke depan agar perjuangan pemuda Indonesia lebih nyata. Terutama bagi calon guru, diharapkan agar dapat mendidik muridnya tanpa menghilangkan norma-norma dan budaya bangsa sendiri.
Selain upacara, juga digelar karnaval dan orasi ilmiah. Karnaval ini merupakan yang pertama kalinya digelar, baik di tingkat fakultas maupun universitas. Kegiatan tersebut diawali laporan kepada dekan FKIP, kemudian ke Fakultas Kedokteran (FK), FMIPA dan FP. Lalu, dilanjutkan dengan orasi ke Gedung Rektorat, FT, FE, FISIP, dan FH. Orasi bermuara di Gedung Rektorat dan dibuatkan pernyataan bahwa Rektorat akan memperbaiki kinerja dosen serta memberikan sarana dan prasarana untuk menunjang pembentukan karakter mahasiswa Universitas Lampung (Unila).
Tontowi juga menambahkan, ke depan, kegiatan untuk memperingati sumpah pemuda akan ditingkatkan kembali, seperti lomba antarmahasiswa.

Minggu, 03 April 2011

Inovasi Pembelajaran Sains melalui Pendekatan Multiple Representations

Oleh: Dr. Abdurrahman, M.Si

Pendidikan sains memiliki peran strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Sebagai bagian dari masyarakat dunia, kita tidak dapat lepas dari pengaruh perkembangan dan produk sains berupa teknologi yang semakin luar biasa. Dunia yang kita diami ini, akan senantiasa terus dipenuhi dengan produk sains yang membuat setiap orang membutuhkan pengetahuan dan cara berpikir ilmiah tentang sains. Dengan demikian, sains yang sarat akan kegiatan berpikir dapat menjadi wahana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia, terutama untuk membangun keterampilan berpikirnya. Pembentukan keterampilan ini sangat menentukan dalam membangun kepribadian dan pola tindakan insan Indonesia, oleh karena itu modus pemberdayaan pembelajaran sains harus dikembangkan pada pembekalan keterampilan bepikir tingkat tinggi. Pendidikan sains juga dapat membantu seseorang untuk mengembangkan pemahaman dan kebiasaan berpikir, sehingga mereka memiliki sejumlah kemampuan untuk menjamin kelangsungan hidupnya.

Sains memiliki catatan panjang dan penuh keberhasilan dalam menciptakan pengetahuan baru yang diaplikasikan pada berbagai pengalaman manusia dalam skala luas dan mendorong pengembangan teknologi. Sains merupakan jantung informasi baru dan teknologi komunikasi yang telah mengubah secara drastis kehidupan kita dalam dekade terakhir. Dari pandangan global dan historis, sains, sebagai suatu mata pelajaran, sungguh luar biasa sukses dalam sejumlah bidang, mampu menyediakan secara instan metode lebih generik dalam analisis untuk menyelesaikan masalah kompleks dalam kehidupan manusia. Namun sains, sebagai mata pelajaran di sekolah, belum mendapatkan tanggapan yang baik dari peserta didik. Oleh karena itu, saintis atau guru bahkan peminat sains umumnya mempunyai masalah sangat besar dalam upaya menyajikan sains secera lebih bermakna dan membuat generasi muda tertarik belajar sains.

Kemampuan penguasaan konsep sains sangat berkaitan dengan bagaimana menggunakan berbagai bahasa sains dalam pembelajarannya seperti kata (oral dan menulis), visual (diagram gambar, grafik, simulasi dan animasi), simbol dan persamaan (rumus), gerak-gerik tubuh (gesture), bermain peran, dan lain-lain, yang akan memungkin mahasiswa mempelajari sains melalui pengembangan kemampuan mental berpikir dengan baik, inilah yang dinamakan pendekatan multimodal atau multiple representations. Multimodality mengacu pada pengintregasian topik-topik pembicaraan di bidang sains dari model-model yang berbeda untuk menyampaikan penjelasan-penjelasan dan penemuan-penemuan tentang sains. Konsep yang sama disampaikan ulang menggunakan bentuk yang berbeda atau ”multiple representation” dalam verbal, numerikal, visual atau model-model gerakan. Fokus pada pada pemikiran dan penyampaian multimodal mendorong murid-murid untuk mengkoordinasi penyampaian tentang pengetahuan sains mereka secara berbeda-beda.

Secara naluriah manusia menyampaikan, menerima, dan menginterpretasikan maksud melalui berbagai cara penyampaian dan berbagai komunikasi. Baik dalam pembicaraan, bacaan maupun tulisan. Meskipun model linguistik yang berfokus pada oral dan teks tertulis sering dianggap sebagai kunci model komunikasi, model-model lain seperti visual, simbol, image tidak bergerak, animasi grafik, model-model fisik, isyarat dan gerakan juga mempunyai peran yang penting dalam proses belajar dan mengajar. Siswa belajar lebih efektif ketika mereka mengolah informasi dengan berbagai macam cara, maka pendekatan multimodal representasi untuk belajar dan mengajar menjadi sesuatu yang sangat berpotensi menghasilkan proses pembelajaran yang efektif. Melalui representasi yang mulimodal akan menciptakan suasana pembelajaran dengan peran aktif seluruh potensi yang dimiliki mahasiswa, mengaktifkan kemampuan belajar (learning ability) mahasiswa baik minds-on maupun hands-on (men-generate sendiri format representasi tertentu).

Kafe Eduspot

Sumur atau toilet?

Jarum pendek jam tanganku baru saja melewati angka 12, menunjukkan waktunya untuk istirahat, sholat dan makan, sebelum perkuliahan berikutnya dimulai. Kerumunan mahasiswa masih tampak dibeberapa pintu ruang kuliah. Tampak beberapa mahasiswa masih sibuk bercakap cakap. Mungkin tentang mata kuliah yang baru saja mereka ikuti. Bisa jadi juga masih asyik memperbincangkan soal-soal ujian yang baru saja mereka hadapi, atau bahkan sedang bercerita ria tentang dosen mereka. Tapi tidak untuk si Edu dan si Spot.
Spot : “Hai du, mana sih toilet terdekat?”
Edu : “Ah, pake nanya segala. Kayak gak tau FKIP aja kau.”
Spot : “Susahnya cari toilet, kayak cari presiden aja. Udah bayar mahal kita, masak fasilitas vital ga ada. Padahal ini kan untuk sesuatu yang vital dan akibatnya bisa fatal”
Edu : “Ah kamu lupa ngomong kali waktu bayar SPP.”
Spot : “Ngomong apaan?”
Edu : “Ya ngomong kalo sebagian bayaran SPPnya untuk fasilitas itu. Hahaha…”
Spot : “Nah itu dia. Masalahnya aku belum bayar SPP”
Edu : #*&^%?
Tak lama kemudian, datang si Jaya keluar dari sebuah ruang kuliah dan menghampiri mereka.
Jaya : “Eh Edu, Spot. Tau gak, kampus kita sedang dibuatkan sumur bor baru lho”
Spot : “Sumur baru,? Harusnya toiletnya dulu, bukan sumurnya duluan!”
Edu : “Kebelet sih kebelet, tapi gak sampe segitunya kalee”
Jaya : “Iya Pot, bagaimana mau memperbaiki toiletnya kalau airnya saja gak lancar. Makanya pak
dekan yang baru memprioritaskan buat sumur dulu, baru nanti toiletnya.”
Edu : “Iya bener ya, kalo kita bikin toilet umum yang bagus dan mahal, kalo tidak ditunjang dengan
air bersih yang memadai ya sama aja boong, pasti akan kotor dan bau lagi, iya ga?”
Spot : “Iya juga sih. Ya udah, ngomong–ngomong aku duluan nih, ada yang mau 'dateng'. Hehehe…”
Edu, Jaya: “Hahaha, makanya janjian dulu, jangan suruh datang seenaknya”


Mengajar Murid SD tentang Bahaya Alkohol
Suatu pagi yang indah di sebuah sekolah dasar, seorang Pak Guru yang begitu berdedikasi sedang mengajar murid-muridnya tentang betapa bahayanya minuman keras kepada mereka.
Sebelum memulai mata pelajarannya pada hari itu dia telah mengambil 2 ekor cacing yang hidup, sebagai sampel kehidupan dan dua gelas minuman yang masing-masing berisi dengan air mineral dan Whiskey yang mengandung kadar alkohol tinggi.
“Coba perhatikan anak-anak! Lihat bagaimana saya akan memasukkan cacing ini kedalam gelas, perhatikan betul-betul. Cacing yang sebelah kanan saya, akan saya masukkan ke dalam air mineral manakala cacing yang sebelah kiri saya akan masukkan ke dalam Whiskey. Perhatikan betul-betul!”
Semua mata tertumpu pada kedua ekor cacing itu. Seperti diperkirakan, cacing yang berada dalam gelas yang berisi air mineral itu berenang-renang di dasar gelas, manakala cacing yang berada di dalam whiskey menggeliat lalu mati.
Pak Guru tersenyum lebar, apabila melihat murid-muridnya memberikan perhatian sepenuh hati pada pelajaran praktek yang dia berikan.
“Baiklah anak-anak, apa yang kamu dapat pelajari dari praktek yang Pak Guru tunjukkan tadi??”
Dengan penuh keyakinan murid-muridnya menjawab, “UNTUK MENGHINDARI CACINGAN…MINUMLAH WHISKEY!”

by Andreas Viklund. Blog pada WordPress.com.

Negeri Kincir Angin Pertama Bukan Belanda

Tahukah
Anda?

Apa yang anda pikirkan tentang kincir angin? Energi Alternatif, yang bersih dan terbarukan? Negeri Belanda yang dijuluki Negeri Kincir Angin, karena sejak berabad-abad secara massif menggunakan kincir angin untuk menggiling gandum maupun memompa air demi menggeringkan negerinya yang lebih rendah dari laut? Apapun yang anda pilih, bila anda menyangka Negeri Belanda adalah Negeri Kincir Angin pertama, boleh jadi anda keliru.
Pengembangan teknologi kincir angin dimuat jelas dalam kitab al-hiyal karya Abu Musa Bersaudara.Dan kincir angin pertama kali digunkan di Provinsi Sistan, Iran Timur sebagaimana tercatat oleh geografer Istakhri pada abad ke-19 M. Jadi masuk akal bila sejarawan Joseph Nedham menulis, “ Sejarah kincir angin benar-benar diawali oleh kebudayaan Islam” (Joseph Nedham,1986. Science and Civilization in China: Volume 4, Physics and Physical Technology,prt 2, Mechanical Engineering. Taipe: Caves Books Ltd. Vol 4).
Kincir angin pertama memiliki sumbu vertikal dan terdiri dari enam hingga duabelas layar yang terbuat dari textil dan dipakai untuk menggiling biji-bijian dan menaikan air, dan bentuknya agak berbeda dari yang belakangan yang dipakai di Eropa. Deskripsi rinci alat ini terdapat dalam kitab nukhbat al-Dahr karya Al-Dimasyqi, ditulis sekitr 700 H/ 1300 M. Dari sini dapat diketahui bahwa pada saat itu sudah terdapat kincir angin bersumbu horizontal yang dikelilingan dinding-dinding penahan angin keculi pada satu sisi. Kincir angin ini mulai dipakai di Mesir untuk menggiling tebu dan akhirnya dipakai meluas di seluruh wilayah negara Islam pada abad ke-12 M dan mencapai Eropa melalui Spanyol(Kaveh Frrokh, 2006, Shadows in the Desert, Osprey Publishing).
Di Eropa, bentuk kincir angin lambat laun dimodifikasi sehingga memungkinkan kincir untuk menyesuaikan arah hadapnya dengan arah angin di Eropa Utra yang sering berubah-ubah sehingga dapat beroperasi lebih ekonomis. Rancagan dasarnya digambarkan besar-besar di buku Machinae Novae(Mesin-mesin baru) dari tahun 1615 karya uskup sekalligus Insinyur Fauntus Verantius. Nedham berpikir bahwa “hal ini jelas merupakan penyebaran ke arah barat dari kebudayaan Iberia yang dulunya berasal dari Spanyol muslim”.
Adanya kincir angin di Taragona, Spanyol selama masa pemerintahan Islam dituliskan oleh para penulis muslim, misalnya dalam Kitab al-Rwd al Mi'tar (Kitab Taman yang Haram) karya al-Himyari pada tahun 661 h/ 1262 M. Beberapa pihak mengasumsikan bahwa kincir-kincir angin di Eropa temuan asli Eropa. Namun yang jelas kemunculan kincir angin di Eropa lebih lambat beberapa abad dari pada di dunia Islam.
Dengan datangnya revolusi industri, nilai penting kincir angin sebagai sumber energi primer untuk industri lambat laun tergeser oleh mesin uap atau mesin berbahan bakar fosil, kecuali di tempat-tempat yang terisolasi dan terpencil.
Namun demikian, krisis energi akhir-akhir ini menjadi momentum kebangkitan kembali kincir angin. Kincir angin modern dihubungkan dengan generator dan disebut “generator angin”. Satu generator angin terbesar sanggup menghasilkan listrik 6000 MW (bandingkan satu generator uap besar yang mampu yang mampu menghasilkan listrik antara 500 sampai 1300 MW). (Dit/Bud)

Ketika Rindu Menyeruak Kalbu

Oleh: Dr Abdurrahman, M.Si
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang menganugerahkan serentetan waktu-waktu khusus dalam satu tahun untuk memperbaharui kondisi ruhiyah dan keimanan kita. Dimulai dengan ibadah Ramadhan sebulan penuh yang kehadirannya selalu dinantikan oleh orang-orang yang beriman, sampai akhir bulan penutup bulan di tahun hijriah, yaitu Dzulhijjah dimana kita dihadapkan pada amalan khusus yaitu berkurban dan menunaikan ibadah haji. Nampaknya disini kita dapat mengambil intisari hikmah mengapa Allah SWT menggelar waktu-waktu istimewa ini. Allah maha tahu bahwa kita akan dihadapkan dengan segala aktivitas kehidupan yang setiap hari semakin berat selama setahun yang akan datang, oleh karena itu 4 bulan sebelum bulan muharrom Allah mempersiapkan kekuatan ruhiyah orang-orang yang beriman melalui berbagai amalan dan ritual khusus tersebut. Sebagaimana fisik yang membutuhkan tidur untuk istirahat setelah beraktivitas seharian penuh, maka ruhiyah kitapun membutuhkan penyegaran kembali untuk memperbaharui keimanan kita.

Bulan Dzulhijjah yang syarat makna dan nilai-nilai ruhiyah baru saja hadir menyapa kita, menyentuh hati nurani dan jiwa setiap orang beriman untuk memiliki spirit berkurban. Sejarah telah membuktikan bahwa seeorang atau komunitas atau suatu bangsa menjadi besar karena jiwa-jiwa mereka besar dan tidak ada jiwa yang besar tanpa disertai jiwa yang memiliki semangat berkurban. Sejarah telah membuktikan bahwa setiap pergantian peradaban akan munculkan seseorang, komunitas, atau bangsa yang dipenuhi oleh semangat pengurbanan. Mereka menjadi ummat yang besar, bergengsi, dan disegani dunia sebagai pembawa peradaban dalam sejarah kehidupan manusia sebagai buah dari semangat berkurban baik dengan diri maupun hartanya.

Pertemuan dengan bulan Dzulhijjah secara spontan menstimulus memori orang-orang yang beriman pada kenangan sekitar 4000-an tahun yang lalu dimana tiga manusia agung Ibrahim, Siti hajar, dan Ismail berjalan kaki sejauh lebih dari 2000 km dari Syam (sekitar Palestina) menuju daerah tandus tak bertuan yang sekarang menjadi pusat peradaban dunia, Makkah Almukaromah. Perjalanan sejauh jarak pulang pergi dari kota Bandar Lampung-Padang melalui jalur lintas timur, bukanlah perjalanan wisata yang menyenangkan, namun sebuah perjalanan panjang dan melelahkan yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki semangat pengurbanan dalam melaksanakan perintah sang Khalik.

Kisah syarat ibroh (pelajaran) dari Ibrahim as belum berhenti sampai disini. Peristiwa mengharukan sekaligus tentang perintah penyembelihan Ismail as, memberikan kesan yang mendalam bagi kita. Betapa tidak, Nabi Ibrahim 'alaihissalam yang telah menunggu kehadiran buah hati selama bertahun-tahun ternyata diuji Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk menyembelih putranya sendiri. Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala atau mempertahankan buah hati dengan konsekuensi tidak mengindahkan perintahNya. Sebuah pilihan yang cukup dilematis dan membutuhkan pengurbanan yang luar biasa. Namun karena didasari ketakwaan yang kuat, perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala pun dilaksanakan. Dan pada akhirnya, Nabi Ismail 'alaihissalam tidak jadi disembelih dengan digantikan seekor domba. Inilah perintah simbolik ibadah kurban di bulan dzulhijjah.

Melalui semangat pengurbanan itulah kisah tersebut berlanjut. Kita bisa menelusuri secara ilmiah, bagaimana Nabi Ibrahim as selanjutnya telah berhasil membangun peradaban manusia yang luar biasa, yaitu perdaban Islam yang dibangun oleh Rasulullah Muhammad SAW, yang merupakan keturunan utama nabi Ibrahim as. Keindahan dan kesempurnaan perdaban manusia yang dibawa Islam sampai saat masih kita rasakan baik dalam tataran ideologis maupun praktis. Kisah tersebut merupakan potret puncak kepatuhan seorang hamba kepada sang khalik, Allah Subhanahu wa Ta'ala. Nabi Ibrahim 'alaihissalam mencintai Allah melebihi segalanya, termasuk darah dagingnya sendiri. Kecintaan Nabi Ibrahim 'alaihissalam terhadap putra kesayangannya tidak menghalangi ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.


Implementasi puncak semangat pengurbanan orang-orang yang beriman pada bulan Dzulhijjah adalah melaksanakan Ibadah haji, yaitu bagian dari ibadah yang paling fundamental dalam agama Islam. Ketika Nabi SAW menyebutkan 'struktur' bangunan Islam, maka ibadah haji beliau letakkan sebagai bagian yang tak terpisahkan. Dalam Al-Quran Allah berfirman, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. 3:97).

Secara historis memang ibadah ini berasal dari kisah Nabiullah Ibrahim as. Namun kemudian ia menjadi simbol ibadah universal dimana seluruh umat manusia terpanggil untuk melakukannya. Dalam seluruh ajaran Islam, terlebih lagi pada ibadah haji, kecintaan kita pada keta'atan menduduki posisi yang sangat mendasar. Kecintaan menumbuhkan kerinduan, kecintaan menghasilkan kekuatan dan kecintaan memerlukan pengorbanan. Karena kerinduan, kekuatan dan pengorbanan, harus ada dalam diri orang-orang yang hendak melaksanakan ibadah haji. Ketiga hal tersebut yang berpangkal dari kecintaan merupakan pondasi untuk mengikuti jejak-jejak Nabi Ibrahim.

Pada ritual haji pula, manusia diajarkan untuk senantiasa berusaha menanggalkan segala atribut dan status sosial yang selama ini dibanggakan dan menjadi sekat-sekat bahkan jurang terjal bagi hubungan diantara manusia. Dengan pakaian yang bentuk dan warnanya sama, pakaian ihram, orang melakukan serangkaian ritual yang disyariatkan dalam ibadah haji untuk memenuhi panggilan Allah dengan penuh kerendahan diri. Disinilah orang-orang beriman merasakan puncak kenikmatan sebagai hamba. Disinilah orang-orang yang beriman menumpahkan segala kerinduan yang memuncah akan hakikat sebuah kecintaan dan bukti pengurbanan yang hanya ditujukkan bagi Allah SWT. Disinilah puncak kenikmatan iman yang dirasakan oleh orang-orang yang menyerahkan diri dan jiwanya secara totalitas kepada Allah SWT. Maka tak jarang orang-orang yang pernah melaksanakan ibadah haji, selalu ingin kembali ke baitullah. Kerinduan melaksanakan serangkaian ibadah di tanah suci adalah kerinduan yang tak berujung, senantiasa menyeruak dalam kalbu setiap mereka yang beriman, apalagi kita yang belum melaksanakan ibadah haji.

Implementasi puncak semangat pengurbanan orang-orang yang beriman pada bulan Dzulhijjah adalah melaksanakan Ibadah haji, yaitu bagian dari ibadah yang paling fundamental dalam agama Islam. Ketika Nabi SAW menyebutkan 'struktur' bangunan Islam, maka ibadah haji beliau letakkan sebagai bagian yang tak terpisahkan. Dalam Al-Quran Allah berfirman, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. 3:97).

Secara historis memang ibadah ini berasal dari kisah Nabiullah Ibrahim as. Namun kemudian ia menjadi simbol ibadah universal dimana seluruh umat manusia terpanggil untuk melakukannya. Dalam seluruh ajaran Islam, terlebih lagi pada ibadah haji, kecintaan kita pada keta'atan menduduki posisi yang sangat mendasar. Kecintaan menumbuhkan kerinduan, kecintaan menghasilkan kekuatan dan kecintaan memerlukan pengorbanan. Karena kerinduan, kekuatan dan pengorbanan, harus ada dalam diri orang-orang yang hendak melaksanakan ibadah haji. Ketiga hal tersebut yang berpangkal dari kecintaan merupakan pondasi untuk mengikuti jejak-jejak Nabi Ibrahim.

Pada ritual haji pula, manusia diajarkan untuk senantiasa berusaha menanggalkan segala atribut dan status sosial yang selama ini dibanggakan dan menjadi sekat-sekat bahkan jurang terjal bagi hubungan diantara manusia. Dengan pakaian yang bentuk dan warnanya sama, pakaian ihram, orang melakukan serangkaian ritual yang disyariatkan dalam ibadah haji untuk memenuhi panggilan Allah dengan penuh kerendahan diri. Disinilah orang-orang beriman merasakan puncak kenikmatan sebagai hamba. Disinilah orang-orang yang beriman menumpahkan segala kerinduan yang memuncah akan hakikat sebuah kecintaan dan bukti pengurbanan yang hanya ditujukkan bagi Allah SWT. Disinilah puncak kenikmatan iman yang dirasakan oleh orang-orang yang menyerahkan diri dan jiwanya secara totalitas kepada Allah SWT. Maka tak jarang orang-orang yang pernah melaksanakan ibadah haji, selalu ingin kembali ke baitullah. Kerinduan melaksanakan serangkaian ibadah di tanah suci adalah kerinduan yang tak berujung, senantiasa menyeruak dalam kalbu setiap mereka yang beriman, apalagi kita yang belum melaksanakan ibadah haji.

Teringat seorang sahabat menga-update statusnya di jejaring sosial, “air mata ini spontan menetes tatkala menyaksikan tetangga, sahabat, dan orang-orang tercinta di sekitarnya beramai-ramai mengantarkan saudaranya yang akan melaksanakan ibadah haji, penuh warna dan makna, mudah-mudahan ini adalah salah satu air mata kerinduan diantara berjuta sumber air mata kerinduan, kerinduan menjadi tamu Allah SWT”. Kerinduan itupun semakin hari semakin mengharu biru, semakin menusuk kalbu, membumbung menjadi do'a-do'a panjang di penghujung malam, “ Yaa rabbi jadikanlah kami tamu-Mu yang memburu jamuan-Mu di Baitullah dan kami mohon atas saudara-saudara kami yang berhaji di tahun ini, mempunyai penghayatan seperti yang pernah dilakukan Nabi Ibrahim Alaihissalam, sehingga mereka mencapai haji yang mabrur, amin”. (Wallahu'alam bishshowab).

ALUR DAN SYARAT UNTUK MENGIKUTI SERTIFIKASI GURU



A . Alur Sertifikasi Guru tahun 2011
Dari hasil evaluasi pelaksanaan sertifikasi guru yang telah diselenggarakan lebih kurang 4 tahun, didapatkan bahwa ada perbedaan perilaku guru yang telah mendapat sertifikat pendidik melalui jalur fortofolio dengan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), terutama pada kompetensi pedagogik dan komptensi profesional guru. Guru yang mengikuti PLPG ada perubahan yang signifikan dibandingkan dengan guru yang lulus portofolio. Memperhatikan hasil evaluasi tersebut, maka sejak tahun 2011 pola sertifikasi guru ada sedikit modifikasi sehingga dapat menjaring guru yang benar-benar memiliki kompetensi profesional dan pedagogik yang tinggi melalui uji awal apabila guru ingin mengikuti jalur portofolio. Apabila guru yang memilih jalur portofolio tidak memenuhi persyaratan untuk menyusun portofolio dan portofolio yang disusun setelah dinilai tidak memenuhi skor yang ditetapkan, maka guru dapat mengikuti jalur PLPG.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru Pasal 65 huruf b dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 10 Tahun 2009 tentang Sertifikasi Guru Dalam Jabatan, sertifikasi bagi guru dalam jabatan untuk memperoleh sertifikat pendidik dilaksanakan melalui pola: (1) uji kompetensi dalam bentuk penilaian portofolio, dan (2) pemberian sertifikat pendidik secara langsung. Sedangkan pola yang baru penyelenggaraan sertifikasi guru dalam jabatan tahun 2011 dibagi dalam 3 (tiga) pola sebagai berikut.

1. Penilaian Portofolio (PF)
Penilaian portofolio dilakukan melalui penilaian terhadap kumpulan berkas yang mencerminkan kompetensi guru. Komponen penilaian portofolio mencakup: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Sertifikasi guru pola PF diperuntukan bagi guru dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan yang telah memenuhi persyaratan akademik dan administrasi serta memiliki prestasi dan kesiapan diri untuk mengikuti proses sertifikasi melalui pola itu. Sementara itu, bagi guru yang telah memenuhi persyaratan akademik dan administrasi namun tidak memiliki kesiapan diri untuk mengikuti sertifikasi melalui pola PF, dibolehkan mengikuti sertifikasi pola PLPG.
Bagi guru yang memilih pola PF, mengikuti prosedur sebagai berikut.
a) Peserta wajib mengikuti tes online. Soal tes disediakan oleh KSG melalui WEB yang hanya dapat dibuka di ICT Center.
b) ICT Center sebagai tempat pelaksanaan tes ditetapkan oleh KSG.
c) Peserta yang mencapai skor sama dengan atau lebih tinggi dari batas kelulusan yang ditetapkan oleh KSG dinyatakan lulus.
d) Peserta yang lulus tes mendapatkan bukti kelulusan dari ICT Center dan diberi waktu untuk menyusun portofolio. Fotokopi bukti kelulusan tes dilampirkan dalam bendel portofolio. Peserta yang tidak lulus dalam tes secara otomatis menjadi peserta sertifikasi pola PLPG.
e) Portofolio yang telah disusun diserahkan kepada dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota dan diteruskan kepada Rayon LPTK untuk dinilai oleh asesor.
Apabila hasil penilaian PF peserta sertifikasi guru dapat mencapai batas kelulusan, dilakukan verifikasi terhadap berkas PF yang disusun. Apabila hasil verifikasi mencapai batas kelulusan dan dinyatakan lulus, guru yang bersangkutan memperoleh sertifikat pendidik. Sebaliknya, apabila hasil penilaian PF tidak mencapai batas kelulusan, guru secara otomatis menjadi peserta sertifikasi pola PLPG.
Apabila skor hasil penilaian PF mencapai batas kelulusan, namun secara administrasi masih ada kekurangan maka peserta harus melengkapi kekurangan tersebut (melengkapi administrasi atau MA) untuk selanjutnya dilakukan verifikasi terhadap berkas PF yang disusun.
Apabila hasil penilaian PF belum mencapai batas kelulusan, guru yang bersangkutan secara otomatis menjadi peserta pola PLPG.

2. Pemberian Sertifikat Pendidik secara Langsung (PSPL)
Pemberian sertifikat pendidik secara langsung didahului dengan verifikasi dokumen. Sertifikasi guru pola PSPL diperuntukan bagi guru dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan yang memiliki:
a. Kualifikasi akademik magister (S-2) atau doktor (S-3) dari perguruan tinggi terakreditasi dalam bidang kependidikan atau bidang studi yang relevan dengan mata pelajaran atau rumpun mata pelajaran yang diampunya, atau guru kelas dan guru bimbingan dan konseling atau konselor, dengan golongan sekurang-kurangnya IV/b atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/b
b. Golongan serendah-rendahnya IV/c atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/c.

3. Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG)
PLPG diperuntukan bagi guru dan guru yang diangkat dalam jabatan pengawas satuan pendidikan yang: (1) tidak memenuhi persyaratan PSPL dan memilih PLPG, (2) tidak lulus penilaian portofolio dan/atau guru yang tidak memiliki kesiapan diri, dan (3) memilih langsung mengikuti PLPG. PLPG harus dapat memberikan jaminan terpenuhinya standar kompetensi guru. Beban belajar PLPG sebanyak 90 jam pembelajaran. Model Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, dan Menyenangkan (PAIKEM) disertai workshop Subject Specific Pedagogic (SSP) untuk mengembangkan dan mengemas perangkat pembelajaran.

A. Persyaratan Sertifikasi Guru
Guru masuk kuota ditetapkan berdasarkan urutan prioritas sebagai berikut: (1) masa kerja sebagai guru, (2) usia, (3) pangkat dan golongan, (4) beban kerja, (5) tugas tambahan, dan (6) prestasi kerja. Sedngasyarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut:
1. Persyaratan Umum
a. Guru Masih Aktif Mengajar di Sekolah di Bawah Binaan Depdiknas (Kemendiknas) yaitu Guru yang Mengajar di Sekolah Umum
b. Guru yang diangkat dalam Jabatan Pengawas: 1) Bagi yang Bukan dari Guru, harus diangkat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, (sebelum 1 Desember 2008 (Pasal 67) 2) Bagi yang diangkat setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru tetapi Memiliki Pengalaman Formal sebagai Guru.
c. Guru bukan PNS pada sekolah swasta yang memiliki SK sebagai guru tetap dari penyelenggara pendidikan (guru tetap yayasan), sedangkan guru bukan PNS pada sekolah negeri harus memiliki SK dari Bupati/Walikota atau dinas pendidikan prov/kab/kota. Mengajar di Sekolah Umum
d. Guru bukan PNS pada sekolah swasta yang memiliki SK sebagai guru tetap dari penyelenggara pendidikan (guru tetap yayasan), sedangkan guru bukan PNS pada sekolah negeri harus memiliki SK dari Bupati/Walikota atau dinas pendidikan prov/kab/kota.
e. Pada tanggal 1 Januari 2012 belum memasuki usia 60 tahun
f. Memiliki NUPTK.

2. Persyaratan Khusus Pola PF dan PLPG
a. Kualifikasi akademik sarjana (S-1) atau diploma empat (D-IV) dari program studi yang memiliki izi n penyelenggaraan/terakreditasi.
b. Masa kerja sebagai guru (PNS atau bukan PNS) minimal 6 tahun pada suatu satuan pendidikan dan pada saat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Terbit (30 Des 2005) yang bersangkutan sudah menjadi guru.
c. Belum memiliki kualifikasi akademik S-1/D-IV apabila sudah: pada 1 Januari 2010 mencapai usia 50 tahun dan mempunyai pengalaman kerja 20 tahun sebagai guru, ATAU mempunyai golongan IV/a atau memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/a

3. Persyaratan Khusus Pola PSPL
a. Memiliki kualifikasi akademik Magister (S-2) atau Doktor (S-3) dari PT Terakreditasi dalam Bidang Kependidikan atau Bidang Studi yang relevan dengan mata pelajaran atau rumpun mata pelajaran yang diampunya atau guru kelas atau guru bimbingan dan konseling atau konselor, dengan golongan sekurang-kurangnya IV/b atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/b,
b. Memiliki golongan serendah-rendahnya IV/c atau yang memenuhi angka kredit kumulatif setara dengan golongan IV/c.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More