Jumat, 08 Juli 2011

PENANAMAN KEMBALI PENDIDIKAN BERKARAKTER





Tujuan pendidikan nasionl yamg tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 yaitu: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, sehat, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”, secara jelas telah menerangkan akar pendidikan Indonesia. Namun akhir-akhir ini nampaknya tujuan itu mulai terkikis. Lihatlah bukti berbagai macam tindakan anarki yang dilakoni masyarakat, mulai dari tindak kekerasan, pemaksaan kehendak hingga tindak pidana korupsi yang telah mengakar dan membudidaya.

Hal inilah yang mulai menggelitik dunia pendidikan saat ini. Dari situ muncul berbagai macam pertanyaan mengenai apa saja penyebabnya? Sudah gagalkah pendidikan kita? Bagaimana dengan pendidikan berkarakter yang digembor-gemborkan pemerintah? Masihkan hal itu diperlukan? Nah, untuk menjawabnya tim EDUSPOT telah mewawancarai pakar pendidikan Lampung, bapak Prof. Dr. Bambang Sumitro, M.S. Berikut adalah hasil wawancaranya.

Menurut dosen jrusan Ilmu Pendidikan FKIP, UNILA ini, pendidikan berkarakter adalah pendidikan yang membentuk karakter peserta didik sesuai dengan karakter bangsa, yaitu karakter yang mencerminkan manusia Pancasilais: manusia yang berbudi pekerti luhur, bermoral dan berakhlak mulia.

Sejatinya, pendidikan berkarakter memang bukan barang baru dalam dunia pendidikan. Hal ini bahkan sudah ada sejak pendidikan diajarkan pertama kali. Hal ini telah ditanamkan pada siswa sejak pertaama kali ia mengenyam pedidikan secara formal, bahkan sejak ia mulai berkomunikasi dengan orang lain.

Namun seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan berkarakter semakin terlupakan. Saat ini, pendidikan lebih menekankan aspek pengetahuaan, pengertian dan keterampilan berfikir atau lebih dikenal dengan aspek kognitif. Porsi pendidikan afektif (aspek perasaan dan emosi: minat, sikap, apresiasi, cara penyesuaian diri), dan psikomotor (aspek keterampilan motorik) belum terjamaholeh sebagian besar pendiidk di negeri ini. Padahal aspek-aspek inilah pembentuk jati diri bangsa yang saling berkaitan satu sama lain.

“Zaman sekarang, mana ada lagi pendidikan budi pekerti?” tutur ketua program Paska Sarjana FKIP ini.

Pak Bambang menilai bahwa pendidikan budi pekerti yang merupakan pendidikan konkret dalam pembentukan karakter bangsa telah digantikan oleh pendidikan agama. Di sekolah sudah tidak ada lagi mata pelajaran khusus yang membahas hal tersebut. Hingga, pada kenyataannya pendidikan agama hanya menitikberatkan pada penanaman syariat agama. Padahal pendidikan agama dapat menggantikan pendidikan budi pekerti jika pendidikan agama lebih menekankan pada akhlak. Hanya sedikit porsi akhlak yang diberikan oleh para guru. Contohnya saja guru pendidikan agama Islam hanya mengajarkan cara sholat atau berwudhu yang baik sesuai syareat namun Ia kurang mendidik makna akhlak dibalik sholat atau wudhu itu sendiri. Sehinga upanya pendidikan agama pun masih gagal.

“Namun bukan berarti saya menyalahkan lulusan pendidikan agama. Tetapi kenyataannya memang penerapan akhlaknya sangat kurang!” tambah pak Bambang.

Karenanya, diperlukan langkah konkret dari pemerintah dalam menggalakkan kembali pendidikan berkarakter untuk semua peserta didik. Langkah ini tidak hanya dimulai oleh komponen pendidikan dan pemerintah saja, namun oleh seluruh lapisan masyarakat juga, karena pendidikan juga dipengaruhi oleh lingkungan peserta didiknya dan budaya yang sesuai dengan tuntutan masyarakat. Sehingga kalaupun ada kendala dan hambtan, hal ini justru akan semakin memperkuat pembentukan karakter bangsa.

Sementara itu menurut pak Bambang, penerapan pendidikan berkarakter di lingkungan kampus FKIPmasih kurang. Hal ini dikarenakan mahasiswa masih terbawa oleh lingkungan pendidikan yang kurang membentuk karakter mahasiswa secara tepat yaitu sebagi calon pendidik. Sejatinya mahasiswa tidak harus diberitahu bagaimana pekerti yang baik dalam proses pembelajaran. Apalagi mahasiswa FKIP sebagai calon guru dituntut untuk mampu menerapkan budi pekerti ini kedalam dirinya dan menjadi cerminan saat ia mendidik nantinya. “Saya tidak pernah mengajari mahasiswa saya untuk cium tangan saat bertemu, tapi hal ini mereka sadari dengan sendirinya. Ini yang menandai bahwa dia mahasiswa FKIP, walaupun hanya segelintir mahasiswa yang melakukannya” imbuhnya.

Idealnya pendidikan budi pekerti di perguruan tinggi memang tidak dibuat dalam satu mata kuliah khusus namun disiipkan pada setiap mata kuliah. “Ambillah 5 menit diawal atau diakhir perkuliahan” imbuh pak Bambang diakhir wawancara.

Jika hal ini mampu diwujudkan degan benar maka tujuan pendiidkan nasional akan mampu berdiri tegak dan tercermin dalam setiap pribadi bangsa yang akan mencerminkan jai diri bangsa dalam kancah Internasional.

Pendidikan berkarakter di FKIP

Saat dikonfirmasi mengenai hal ini, Dekan FKIP menegaskan bahwa pendidikan berkarakter di FKIP akan diinternalisasikan dalam Perkuliahan Berbasis Pendidikan Berkarakter yang meliputi Pembelajaran Terintegrasi. Program ini bertujuan mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan berkarakter seperti kejujuran, tata karma, demokrasi, menghargai orang lain, dan cinta lingkungan kedalam setiap mata kuliah yang dijalani oleh mahasaiswa yang sejalan dengan motto FKIP yaitu Kampus Edukatif-Inovatif yang Relijius,

Dekan juga menjelaskan bahwa pendidikan berkrakter tidak bisa berdiri sendiri artinya tidak bisa dijadikan mata kuliah sendiri sama seperti mata kuliah lain. Jika berdiri sendiri maka hasilnya akan mubazir karena pembentukan karakter mahasiswanya tidak hanya tanggung jawab dari satu dosen yang mengajar pendiidkan berkarakter, tetapi semua dosen wajib turut serta.

Nantinya pendidikan berkarakter akan tercermin dari setiap proses belajar mengajar. Contohnya saat dosen Kewarganegaraan mengadakan diskusi, maka dosen tidak hanya menilai substansi dari diskusi itu, tetapi juga melihat bagaimanakah mahasiswa dapat menghargai orang lain, menyampaikan pendapat dan meneraplkan budi pekerti yang baik. Sehingga akan tercipta penanaman karakter mahasiswa yang sesuai dengan hakekat pendidikan. Mahasiswa dan dosen akan saling menginternalisasikan nilai mata kuliah tersebut, tidak hanya mentrasfer ilmu pengetahuan saja.

“Program ini masih dipersiapkan secara matang. Sudah tercakup sekitar 46 butir nilai yang harus terintegrasi. Tinggal tunggu launching-nya saja.” tutur Dekan menutup wawancara.

1 komentar:

Pendidikan berkrakter semoga tidak berhenti sampai tahap konseptual atau rancangan pembelajaran saja. Akan tetapi yang paling penting adalah implementasinya dalam pembelajaran. Dan keteladanan dari para pendidik dan tenaga pendidikan. Jangan sampai digembar-gemborkan pendidikan berkarakter, Ee... malah waktu UN kunci jawban beredar di mana-mana... ijazah palsu beredar di mana-mana, ... kebohongan disiarkan ke mana-mana... dan ....

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More